adultery
Malam ini, Noah sudah di dalam mobil bersama Elsa —kekasihnya—, pikirannya menerawang sejenak menatap warna air danau yang berwarna kehitaman efek pantulan langit malam.
“Kenapa kamu bawa aku kesini, sayang?” tanya Elsa menatap kekasihnya itu, penasaran.
Noah terdiam cukup lama, nafasnya masih tak tenang. Di otaknya, ia berusaha menyusun kata dan kalimat apa yang tepat untuk ia katakan kepada Elsa.
“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Aku tahu, kamu bakal marah, mungkin marah banget ke aku. Tapi, aku mohon dengerin dulu penjelasan dari aku sampai tuntas, ya?” ucapnya lolos begitu saja dengan tempo satu kali helaan nafas, Elsa menatapnya bingung.
“Lalu?” tanyanya, hanya satu kalimat itu saja yang mampu ia ucapkan.
“Aku selingkuh.” Tanpa bertele-tele atau memakai istilah lain, Noah memilih dua kata itu sebagai pembuka dari semua pengakuan dosanya.
Elsa terdiam seribu bahasa, otaknya masih sulit mencerna.
“Waktu kamu wisuda, banku nggak bocor. Tapi, aku ketemu sama mantanku. Dan ... we have affair.” Elsa membiarkan Noah menyelesaikan semua kalimatnya, seperti permintaannya di awal.
“Aku tahu aku salah waktu itu. Aku benar-benar salah dan mungkin seribu kata maaf nggak bisa buat nebus kesalahanku. Tapi, aku benar-benar menyesal. Dia udah aku block dan nomornya udah aku hapus.” Noah kembali melanjutkan dengan mata memerah, menahan segenap emosi yang ia simpan berhari-hari.
Elsa masih bergeming, saat ini wajahnya sudah pucat pasi.
“Sekarang, aku siap terima semua konsekuensinya. Kamu boleh tampar aku, boleh pukul aku, dan ... Boleh putusin aku.” Ia melepaskan nafas panjang di bagian terakhir ucapannya, menatap Elsa penuh harap.
Elsa masih terdiam, alih-alih menampar atau bahkan memukulnya. Sang gadis justru terdiam.
“Kamu jahat.” Hanya dua kata itu yang keluar dari bilabialnya, Noah bahkan tak berani menatap mata indah yang saat ini sedang berkaca menahan air mata.
“Aku cuma nggak nyangka, kenapa yang terjadi di film-film, yang terjadi di orang-orang sekitarku. Juga terjadi ke aku. Aku salah dan kurangnya apa sih, yang?” tanyanya dengan suara bergetar. Noah kehilangan kata-kata, semua menguap seiring isak yang semakin kencang dari bibir Elsa.
“Aku minta maaf. Aku cuma bisa ngomong itu. Aku minta maaf.” Noah bergeming di tempatnya, tidak berani bertindak lebih jauh. Membiarkan Elsa menangis di hadapannya.
“Kamu beneran udah block dia?” tanya Elsa setelah tangisnya reda, ia bahkan masih enggan menatap Noah. Pria jangkung itu mengangguk, helaan nafasnya terasa berat.
Elsa mencoba menatap Noah dan menggeleng tidak percaya.
“Aku kurang apa sih, yang?” tanyanya dengan suara lirih, menunggu jawaban dari lelaki itu.
“Aku ngerasa pacaran kita hambar banget. Kamu nggak mau manggil aku sayang, kamu nggak mau pegangan tangan, kamu nggak mau aku peluk, ngga mau bilang—” Noah masih berbicara, namun disergah oleh Elsa.
“Emang pacaran harus kaya gitu?” tanyanya dengan penasaran, mencari jawaban dari mata lelakinya.
Tak menjawab, Noah memilih memeluk sang puan erat. Egonya yang membuat ini semua terjadi. Ia membiarkan Elsa menangis dipelukannya dan merapal kalimat maaf berulang kali sampai berhenti tangisan itu, sampai hilang luka itu.