Insiden
Malam itu, usai memarkirkan motornya sembarang, Alka berjalan dengan santai menuju arena balap yang berada disebuah jalan lurus kosong kawasan Senayan. Sewaktu pagi, jalan ini digunakan muda-mudi untuk menghabiskan waktu mereka untuk berjalan santai ataupun mengajak keluarga bercengkrama dikarenakan suasana di daerah tersebut sangat asri. Namun, berbeda saat malam tiba. Jalan tersebut digunakan para remaja pencari jati diri unjuk kekuasaan termasuk Alka saat ini.
“Alka alka.. Kemana aja lo baru dateng?” tanya sosok yang paling Alka tidak harapkan untuk hadir, siapa lagi kalau bukan Hujan.
“Harus banget gue lapor lo abis darimana?” tanya Alka ketus dan berjalan menuju Reyhan, Manik dan Eldo. Ketiga sahabatnya.
“Tadi gue udah ngomong sama temen lo. Robbers ngajakin Laskarz taruhan. One by one. Yang artinya, gue sama lo.” ucap Hujan dengan senyuman miringnya yang khas menatap Alka dengan merendahkan.
Alka mencibir dan mengangkat dagunya, bersikap angkuh lantas tertawa jua meremehkan. Sebenarnya, taruhan adalah hal yang sangat ia hindari. Namun, Robbers berhasil membuat ego dalam dirinya naik.
“Oke.“ Ia mengangguk, “Taruhan apa?” tanyanya dengan tangan terlipat di dada.
Hujan tertawa pelan akan tingkah Alka lantas mengusap dagunya, kemudian Ia melirik teman-temannya dan tersenyum miring.
“Kalau lo kalah, lo harus mengakui depan semua anak-anak. Kalau Laskarz kalah dan mengakui Robbers hebat. Di lapangan sekolah.” ucap Hujan dengan penuh penekanan di setiap katanya dan mengitari tubuh Alka.
“Kalau gue menang?” tanyanya penasaran.
“Lo tau sendiri, Robbers emang udah pecundang.” ucapnya tertawa dengan meremehkan membuat kedua jemari Hujan terkepal.
“Gue bakal jadi babu lo sebulan kedepan. Gimana? Deal?” tanya Hujan mengulurkan tangannya didepan Alka.
Alka melirik ketiga sahabatnya dahulu dan menyambut jabatan tangan tuan yang berumur tidak jauh darinya. Ia pastikan, Hujan dan teman-temanya akan jadi pesuruhnya selama satu bulan kedepan.
Arena balap saat itu sudah dipenuhi riuh suara dari para remaja remaja tanggung yang hadir di tempat tersebut, tak terkecuali Ghessa. Ia memilih meneriakkan nama Alka daripada mendukung kakaknya, Hujan.
“Alka alkaaaaa! Ayo lo pasti menang.” teriak dara yang terpaut umur hanya satu tahun dengan Hujan.
“Kok lo malah dukung si Alka?” tanya Dendra, sahabat Hujan.
“Yeuh, biarin. Suka-suka gue dong. Wleee.” Ia memeletkan lidah ke arah Dendra dan kembali meneriakkan nama idolanya.
Kedua motor mereka sudah melaju dengan kecepatan diatas batas normal, alias benar-benar seperti berkendara diatas angin. 150 km/ jam untuk kecepatan yang dipacu Alka agar bisa mengungguli Hujan.
Sesekali ia berpapasan dengan Hujan dan memilih melempar ludah ke arah sang tuan sebagai bentuk penghinaan bahwa dirinya diatas segalanya daripada rivalnya tersebut.
Dua putaran ia masih memimpin, egonya yang membuat Alka menambah kecepatannya menjadi 170km/ jam, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya.
Jalan yang mereka lewati memang berdekatan dengan pemukiman warga, meski sudah malam dan tidak ada warga yang melintas namun Alka seharusnya lebih waspada. Naas, ia tak bisa menghentikan laju motornya saat seorang tukang nasi goreng melintas didepannya hendak menyebrang ke kanan jalan.
TIIIIIIINNNN!!
Sebisa mungkin Ia menekan klaksonnya, namun sayang sekali kecelakaan tak terelakkan dan membuat tubuh pria tersebut terpental karena hantaman motor Alka dan terjatuh cukup keras mengenai trotoar.
Beruntung, Alka tidak mengalami luka berat karena helm yang dipakainya. Ia menoleh ke arah korban yang ditabraknya dan semua orang sudah berkumpul mengelilinginya. Alka sudah tak mengingat apapun lagi, yang ia tahu, ia dalam masalah besar.