Kado Tak Diinginkan
Nidya POV
Aaaaaaa!
Kado itu seketika aku lemparkan ketika mengetahui apa isi di dalamnya. Sebuah tikus mati dengan foto-foto aku juga Kawa didalemnya.
Benar-benar keterlaluan! Ulah siapa ini? Seingatku aku nggak pernah sebar nomor ke sosmed atau ke orang lain yang nggak aku kenal. Apalagi alamat! Darimana dia tahu semua info tentangku?
Aku bahkan tidak ada hubungan apa-apa dengan Kawa.. Kenapa orang itu keterlaluan banget kaya gini sih?
Tok! Tok! Tok!
“Yayaaaa yayaa ini gue Ratu, sama Cici!”
Aku membereskan kado sialan itu dan memasukkan ke plastik lalu membuangnya ke tempat sampah.
“Lo nggak kenapa-kenapa?!” saat pintu aku buka, Ratu dan Cici sudah memelukku dan memastikan semua baik-baik saja. Aku mengangguk di tepi tempat tidur.
“Aaaaaa!” jerit Cici saat melihat kado yang sudah berada ditempat sampah tersebut.
“Gila sih, psikopat dia njir! Bisa-bisanya kamu dikasih gituan Nid!” Cici duduk disebelahku dan mengusap bahuku pelan.
“Khanza nih pasti kerjaannya. Besok gue labrak dia.” Ratu terlihat berapi-api dengan amarahnya.
“Kok kamu nuduh Khanza sih? Emang ada buktinya, Tu?” tanya Cici yang sepemikiran denganku.
“Ya siapa lagi yang tahu alamat Ninid dan nomor telepon dia selain tuh nenek lampir. Orang lain nggak mungkinlah.” Ratu memberikan argumennya kemudian menghampiri kado tersebut.
“Nid, ada suratnya.” Ia mengambil sepucuk surat yang ditulis dengan tinta merah.
“Gue tau sekolah lo, gue tau data keluarga lo. Jauhi Kawa atau gue akan berbuat lebih jauh.” Ratu membaca tulisan di kado tersebut kemudian wajahnya berubah menjadi geram dan meremas surat tersebut.
“Fix Khanza! ayo kerumahnya aja sekarang.” Ratu menarik Cici dan juga aku. Aku terdiam, memikirkan seribu praduga dan kemungkinan-kemungkinan.
“Udahlah, gue jauhin Kawa aja.” putusku akhirnya dengan menghela nafas berat. Entah keberapa kali aku menghela nafas.
“Nggak bisa gitu, Nid. Memangnya dia siapa bisa larang-larang lo. Lo tuh harus berani! Lo nurut sama aja lo menyetujui perbuatan tidak terpuji ini.” Ratu kembali menyanggah, diangguki Cici. Aku menatap mereka berdua.
“Aduin Kawa aja. Pasti Kawa banyak duit langsung dicari siapa.” Cici berkomentar, kemudian aku menggeleng.
“Gue nggak bisa dan nggak mau Kawa repot sama masalah sepele kaya gini.” Aku menggeleng frustasi, serba bingung.
“Sepele dari hongkong heh! Pokoknya gue ama Cici bantuin cari siapa dalangnya. Gue tetep curiga si Khanza.” Ratu masih saja kekeuh dengan praduganya dan meremas-remas surat tersebut.
Aku pusing. Rasanya seperti aku tidak diizinkan bahagia sebentar saja.