Lagi dan lagi, gue harus sadar dan paham bahwa nggak semua hal di dunia ini harus sesuai mau gue. Semua ada konsekuensinya, ada harga yang harus dibayar atas apa yang telah gue pilih dan mau nggak mau harus dilanjutkan.
Keputusan menjalani kembali dalam kepura-puraan adalah suatu hal yang seharusnya gue hindari, dari semua hal yang gue punya kenapa harus Yaya? Orang yang seharusnya nggak dikorbankan di sini.
Dia seharusnya nggak mengalami semua ini. Dia seharusnya bisa tersenyum dan berteriak kepada semesta bahwa dia punya gue. Setiap orang butuh validasi, bukan? Lantas, kenapa hanya sebuah validasi saja gue nggak bisa kasih itu ke dia? Adil kah?
“Kamu tahu, kenapa bintang sirius itu jarang muncul di langit?” ucap gue saat melakukan stargazing bersamanya di sebuah rooftop gedung tinggi ibukota.
“Kenapa?” tanyanya dengan atensi masih sepenuhnya pada kerlip cahaya bintang di atas kami malam ini.
“Karena dia terlalu indah, dia disembunyikan semesta untuk dipamerkan di waktu yang tepat,” ujar gue ikut menatap ke arah tatap yang sama dengannya.
“Tapi bintang sirius juga berkorban dengan cahayanya agar bintang yang lain tetap hidup.” Nidya mengalihkan pandangannya ke arah gue dan tersenyum.
“Kamu mau jadi sirius?” tanya gue lembut, menatap wajahnya yang lugu.
“Nggak.” Nidya menjawab cepat, “Aku tetap mau jadi bunga mataharinya kamu. Mendukung kamu, apapun yang kamu lakuin. Karena kamu, matahariku.” Nidya tersenyum lebar dengan khasnya.
“Aku mataharimu, dan aku mencintamu.”
Tuhan, kenapa harus gue sembunyikan dia dari semesta?