My Sunflower
Kawa POV
Sore itu pukul 5 gue sudah menghadapi macetnya ibukota, berbarengan dengan jam pulang kerja dari para budak korporat Jakarta. Haaahh... Nggak apa-apa, demi Nidya. Mau ada naga sekalipun di patung Pancoran gue jabanin, kenapa jadi cringe banget sih Kawa? Eh bentar lagi sampe nih.
“Perumahan Menteng Baru. Blok H No 23.” Gue membaca maps yang sebelumnya diberikan Nidya. Hm ini kali ya.
Gue segera turun dari mobil dan memencet bel rumah dengan halaman luas yang ditumbuhi banyak bunga matahari. Hmm... Yaya, suka banget kah sama bunga matahari?
Tak lama pintu terbuka oleh seorang wanita paruh baya yang kemungkinan adalah ibunda dari Nidya.
“Kawa ya? Bentar ya, Ninidnya lagi siap-siap.” ucapnya ramah, gue segera mencium tangannya dengan sopan dan tersenyum.
“Nggak apa-apa, Tan. Saya tunggu.”
Tak lama Yaya keluar dengan senyuman lebar khasnya dan terlihat cantik dengan rambut tergerai dengan sebuah jepit bunga matahari kecil di rambutnya.
“Ninid pergi dulu yaaa?” Ia menyalami sang ibunda dan mencium pipinya. Gue juga ikut pamit dan membawanya menuju mobil yang terparkir dipinggir jalan.
“Yaaa?” Panggil gue setelah kami sudah diperjalanan. Ia menoleh dan memusatkan atensinya ke arah gue sepenuhnya.
“Hehehehehehe. Nih.” sebuah bucket bunga matahari berikan ke arahnya. Iris matanya melebar dan wajahnya terkejut.
“Hah? Serius? Bagus bangeeeeet. Makasiiii.” ucapnya antusias dan memandangi bucket bunga tersebut dengan wajah terperangah.
“Sama-sama.” gue menjawab dengan sedikit salting dan menyalakan tape radio mobil gue.
Lagu Sunflower dari Rex Orange Country menemani perjalanan sore hari kami berdua.
“Kawa, kamu tau kenapa aku suka bunga matahari?” “Kenapa?” “Karena dia konsisten. Selalu fokus kemana matahari bersinar.”
Yaya? Boleh gue jadi matahari lo?