Tiga sekawan itu membawa bayi yang terus menangis tersebut ke sebuah klinik dekat rumah kost mereka, Nino —nama bayi tersebut— masih terus menangis, suhu tubuhnya tinggi sekali sejak semalam. Ehsan —yang sedang bertugas mengendong— berjalan lebih dulu dan dengan tergesa menuju meja pendaftaran, berharap prosesnya cepat dan tidak bertele-tele.

“Kalian bolos kuliah?” tanya Fatih pada kedua temannya yang sibuk mondar-mandir di depannya.

“Iyalah gila. Gue juga khawatir sama nih bayi satu,” jawab Deka, ia memilih duduk di samping kawannya tersebut dan memperhatikan temannya yang lain, Deka.

Yang jadi pusat perhatian kedua temannya, justru tak ingin duduk. Ia terlalu panik apalagi sang bayi masih terus menangis biarpun sudah diberikan susu.

“Ananda Nino,” panggil sang dokter keluar dari ruangannya.

“Iya, Dok!” Ketiga sekawan itu menjawab serempak, pria berjas putih itu tertawa geli.

“Kalian ini ayahnya atau kakaknya?” tanya sang dokter memastikan.

“Saya Ayahnya!” Tiga sekawan itu menjawab serentak dan membuat sang Dokter memperhatikan dengan kebingungan.

“Eh ... saya Kakaknya!” Fatih memilih opsi lain agar tidak terlalu mencurigakan.

“Saya adiknya!” Deka dengan spontan menjawab, dan berhasil membuatnya dapat toyoran dari Ehsan.

“Gimana bisa bego!” hardiknya sebal.

“Saya sepupunya, Dok!” Ia segera meralat ucapannya.

“Yaudah, Ayahnya masuk yuk?” Sang dokter mengajak salah satu dari mereka, yakni Ehsan untuk masuk ke dalam ruangannya.

“Gue beli minuman dulu, ya?” Fatih menepuk bahu Deka dan dijawab anggukan oleh temannya tersebut.

Fatih yang saat itu memilih sendirian, berjalan ke cafetaria klinik tersebut. Namun, aliran darahnya mendadak terhenti saat melihat sosok perempuan yang begitu amat ia kenali.

“Sasa?” panggilnya lirih, ia mendekat ke arah perempuan tersebut dan berniat menyapanya.

“Eh? Fatih ... ngapain?” tanyanya dengan sedikit kikuk.

“Gue lagi antar ponakan,” jawab sang tuan dengan gestur yang tak kalah kaku.

Cukup lama mereka bertatapan, sampai akhirnya Fatih berdeham memecah keheningan.

“Sasa? Gue mau minta maaf.” Fatih memberanikan diri kembali membawa kembali masalah mereka berbulan-bulan lalu ke permukaan.

Sasa menghela nafas berat dengan tatapan mata yang sudah berkaca-kaca. Satu kali usapan berhasil membangkitkan kembali ketegarannya.

“Nggak apa-apa, nggak usah dibahas lagi. Ah, Fatih? Adalagi yang mau diomongin? Gue buru-buru nih.” Ia kemudian segera membereskan tasnya dan tersenyum melambaikan tangan pada Fatih meskipun belum mendapat persetujuan dari lawan bicaranya.

Layaknya menelan pil pahit, Fatih mengangguk berat dan menunduk sejenak. Ia menoleh mengikuti arah jejak dari perempuan tersebut. Perempuan yang pernah mengisi hari-harinya. Sasa, mantan kekasihnya.