Ekspetasi dan Impian, hanyalah lembar kosong tak bermakna.
Pagi itu, kamu terbangun di atas meja belajar dengan mata sembab dan garis samar hitam di bawah kantung matamu yang dulunya indah berpendar. Kamu mengira ketika kamu terbangun, semua akan sesuai harapan.
Nyatanya, harapanmu hanya sekedar ekspetasi. Tak berani kamu katakan, tak berani kamu suarakan.
Kamu memutuskan bangkit dan berjalan gontai ke arah kamar mandi, bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Karena, memang harus baik-baik saja. Kalau tidak, kamu akan dikira lemah, kamu akan dicemooh kalah oleh mulut orang-orang dewasa yang mengaku dirinya sudah mewujudkan segala harapannya. Sedangkan kamu? memiliki harapan dan impian rasanya seperti barang mahal.
Hari ini penghujung tahun, orang-orang sibuk merancang rencana dalam 12 bulan kedepan, 365 hari selanjutnya yang bahkan mereka seharusnya tahu, mereka saja tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Apakah mereka akan sampai di akhir hitungan ke- 365 atau hanya sampai hitungan ke- 254? Atau bahkan hitungan ke- 1? Lantas, kenapa mereka merancang hidupnya seolah mereka memegang kartu sakti akan hidup dalam satu tahun kedepan?
Kamu baru saja selesai membersihkan badan, lantas tidak membersihkan hatimu. Hati penuh luka yang selalu kamu tutupi di hadapan orang banyak. Menjadi seorang yang paripurna tidak selalu menyenangkan, tidak selalu bahagia.
“Untuk apa?” katamu, saat bermonolog di depan cermin yang bahkan dapat membohongi dirimu sendiri. Coba kamu lihat perbandingan dirimu di cermin pada spion motormu dengan cermin di toilet mall, apakah sama? Lantas bagaimana kamu tahu dia tidak berbohong? Tidak ada yang murni di dunia ini, bahkan susu murni saja yang biasa kamu minum harus melalui proses agar dapat diminum. Jadi, apakah perlu sedikit kebohongan untuk dapat menjalani hidup?
Kamu tahu jawabannya. Kamu melakoninya.
Kamu memutuskan berjalan gontai menuju tempat yang kata sebagian orang adalah tempat mulia, karena banyak cendikiawan hadir dari sana. Atau untuk sebagian orang sebagai tempat sampah, karena buat apa lulus dari tempat itu lalu kerja keras mempelajari sesuatu yang mungkin bukan minatmu kemudian hanya dibayar dengan selembar kertas bernama Ijazah yang katanya dapat menjadi kartu emas kesuksesan banyak orang.
Namun, menurutmu, tempat itu hanya sebuah ruang hampa. Tempat di mana kamu tidak merasa aman, tidak bisa menunjukkan siapa dirimu. Karena dirimu dipaksa dan dituntut untuk jangan sempurna. Karena dirimu bahkan dibenci karena tampil paripurna.
Kamu harus biasa saja, kamu baru dianggap normal.
Definisi normal menjadi bias, dalam pikiranmu kamu selalu tak henti berpikir. Apakah menjadi berbeda itu bisa dikatakan normal? Saat kamu dipaksa menjadi serupa dengan mereka? Saat kelebihanmu dikerdilkan, dianggap suatu keanehan. Dipaksa serupa, dipaksa seiras. Kamu lelah disamakan, kamu lelah disejajarkan.
Saat apa yang menjadi kelebihanmu adalah aibmu, setidaknya di mata mereka.
Kamu di cemooh, katanya kamu tak seragam, katanya kamu menyalahi aturan.
Apa yang harus diseragamkan? Apa yang menurut dunia itu taat aturan? Saat kamu bahkan memilih di jalan yang benar.
Kamu kalut, kamu bingung.
Memilih pulang ke rumah, yang kamu kira adalah tempat kembali terbaik dari seluruh kelelahan dunia yang kamu rasakan.
Nyatanya, di rumah kamu sendiri, kamu tidak menemukannya.
Impianmu, segala anganmu, dan ekspetasi yang tak terkatakan, dipaksa mati ...
Ia bahkan dibunuh oleh orang seharusnya menyokong segala harapan dan impianmu.
Kamu bertanya, lantas sebenarnya apa impianmu sendiri? Jika bermimpi bahkan menjadi barang mahal untuk kamu bisa dapatkan?
Harapanmu mati, impianmu terkubur dalam peti.
Saat semua ekspetasi yang kamu anggap bisa kamu beli, kamu memilih mengubur semuanya agar semua dapat mengerti.
Harapanmu satu-satunya hanya ingin dianggap seorang yang dapat hidup seperti manusia, mengerti bahwa semua berbeda dan ada porsinya.
Kamu hanya ingin dianggap normal.