Zetha Universe

Ekspetasi dan Impian, hanyalah lembar kosong tak bermakna.

Pagi itu, kamu terbangun di atas meja belajar dengan mata sembab dan garis samar hitam di bawah kantung matamu yang dulunya indah berpendar. Kamu mengira ketika kamu terbangun, semua akan sesuai harapan.

Nyatanya, harapanmu hanya sekedar ekspetasi. Tak berani kamu katakan, tak berani kamu suarakan.

Kamu memutuskan bangkit dan berjalan gontai ke arah kamar mandi, bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Karena, memang harus baik-baik saja. Kalau tidak, kamu akan dikira lemah, kamu akan dicemooh kalah oleh mulut orang-orang dewasa yang mengaku dirinya sudah mewujudkan segala harapannya. Sedangkan kamu? memiliki harapan dan impian rasanya seperti barang mahal.

Hari ini penghujung tahun, orang-orang sibuk merancang rencana dalam 12 bulan kedepan, 365 hari selanjutnya yang bahkan mereka seharusnya tahu, mereka saja tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Apakah mereka akan sampai di akhir hitungan ke- 365 atau hanya sampai hitungan ke- 254? Atau bahkan hitungan ke- 1? Lantas, kenapa mereka merancang hidupnya seolah mereka memegang kartu sakti akan hidup dalam satu tahun kedepan?

Kamu baru saja selesai membersihkan badan, lantas tidak membersihkan hatimu. Hati penuh luka yang selalu kamu tutupi di hadapan orang banyak. Menjadi seorang yang paripurna tidak selalu menyenangkan, tidak selalu bahagia.

“Untuk apa?” katamu, saat bermonolog di depan cermin yang bahkan dapat membohongi dirimu sendiri. Coba kamu lihat perbandingan dirimu di cermin pada spion motormu dengan cermin di toilet mall, apakah sama? Lantas bagaimana kamu tahu dia tidak berbohong? Tidak ada yang murni di dunia ini, bahkan susu murni saja yang biasa kamu minum harus melalui proses agar dapat diminum. Jadi, apakah perlu sedikit kebohongan untuk dapat menjalani hidup?

Kamu tahu jawabannya. Kamu melakoninya.

Kamu memutuskan berjalan gontai menuju tempat yang kata sebagian orang adalah tempat mulia, karena banyak cendikiawan hadir dari sana. Atau untuk sebagian orang sebagai tempat sampah, karena buat apa lulus dari tempat itu lalu kerja keras mempelajari sesuatu yang mungkin bukan minatmu kemudian hanya dibayar dengan selembar kertas bernama Ijazah yang katanya dapat menjadi kartu emas kesuksesan banyak orang.

Namun, menurutmu, tempat itu hanya sebuah ruang hampa. Tempat di mana kamu tidak merasa aman, tidak bisa menunjukkan siapa dirimu. Karena dirimu dipaksa dan dituntut untuk jangan sempurna. Karena dirimu bahkan dibenci karena tampil paripurna.

Kamu harus biasa saja, kamu baru dianggap normal.

Definisi normal menjadi bias, dalam pikiranmu kamu selalu tak henti berpikir. Apakah menjadi berbeda itu bisa dikatakan normal? Saat kamu dipaksa menjadi serupa dengan mereka? Saat kelebihanmu dikerdilkan, dianggap suatu keanehan. Dipaksa serupa, dipaksa seiras. Kamu lelah disamakan, kamu lelah disejajarkan.

Saat apa yang menjadi kelebihanmu adalah aibmu, setidaknya di mata mereka.

Kamu di cemooh, katanya kamu tak seragam, katanya kamu menyalahi aturan.

Apa yang harus diseragamkan? Apa yang menurut dunia itu taat aturan? Saat kamu bahkan memilih di jalan yang benar.

Kamu kalut, kamu bingung.

Memilih pulang ke rumah, yang kamu kira adalah tempat kembali terbaik dari seluruh kelelahan dunia yang kamu rasakan.

Nyatanya, di rumah kamu sendiri, kamu tidak menemukannya.

Impianmu, segala anganmu, dan ekspetasi yang tak terkatakan, dipaksa mati ...

Ia bahkan dibunuh oleh orang seharusnya menyokong segala harapan dan impianmu.

Kamu bertanya, lantas sebenarnya apa impianmu sendiri? Jika bermimpi bahkan menjadi barang mahal untuk kamu bisa dapatkan?

Harapanmu mati, impianmu terkubur dalam peti.

Saat semua ekspetasi yang kamu anggap bisa kamu beli, kamu memilih mengubur semuanya agar semua dapat mengerti.

Harapanmu satu-satunya hanya ingin dianggap seorang yang dapat hidup seperti manusia, mengerti bahwa semua berbeda dan ada porsinya.

Kamu hanya ingin dianggap normal.

Lagi dan lagi, gue harus sadar dan paham bahwa nggak semua hal di dunia ini harus sesuai mau gue. Semua ada konsekuensinya, ada harga yang harus dibayar atas apa yang telah gue pilih dan mau nggak mau harus dilanjutkan.

Keputusan menjalani kembali dalam kepura-puraan adalah suatu hal yang seharusnya gue hindari, dari semua hal yang gue punya kenapa harus Yaya? Orang yang seharusnya nggak dikorbankan di sini.

Dia seharusnya nggak mengalami semua ini. Dia seharusnya bisa tersenyum dan berteriak kepada semesta bahwa dia punya gue. Setiap orang butuh validasi, bukan? Lantas, kenapa hanya sebuah validasi saja gue nggak bisa kasih itu ke dia? Adil kah?

“Kamu tahu, kenapa bintang sirius itu jarang muncul di langit?” ucap gue saat melakukan stargazing bersamanya di sebuah rooftop gedung tinggi ibukota.

“Kenapa?” tanyanya dengan atensi masih sepenuhnya pada kerlip cahaya bintang di atas kami malam ini.

“Karena dia terlalu indah, dia disembunyikan semesta untuk dipamerkan di waktu yang tepat,” ujar gue ikut menatap ke arah tatap yang sama dengannya.

“Tapi bintang sirius juga berkorban dengan cahayanya agar bintang yang lain tetap hidup.” Nidya mengalihkan pandangannya ke arah gue dan tersenyum.

“Kamu mau jadi sirius?” tanya gue lembut, menatap wajahnya yang lugu.

“Nggak.” Nidya menjawab cepat, “Aku tetap mau jadi bunga mataharinya kamu. Mendukung kamu, apapun yang kamu lakuin. Karena kamu, matahariku.” Nidya tersenyum lebar dengan khasnya.

“Aku mataharimu, dan aku mencintamu.”

Tuhan, kenapa harus gue sembunyikan dia dari semesta?

The next

“Kamu Bima?” tanya Mala saat ia membukakan pintu untuk seorang yang baru saja ia kenal, mungkin terpaksa karena memang lelaki itu memaksa. Sang tuan mengangguk dan seperti dikejar sesuatu ia mengedarkan pandangan, ke kanan ke kiri lantas diulangi. Alis Mala terangkat, pertanda ia bingung. Ada apa gerangan?

“Boleh saya masuk?” Lelaki itu meminta izin namun tanpa Mala setujui ia sudah melenggang masuk dan menarik tangan Mala untuk segera mengunci pintunya.

“Kamu nggak ada sopan-sopannya ya? Ini rumah saya! Kenapa Ka—” ucapnya terpotong saat melihat Bima sudah berjalan tanpa izin ke arah dapur rumahnya.

“Bawa pisau kecil, bawang putih, korek, lada,” ucap Bima ketika mengedarkan pandangannya, mencari barang-barang yang ia butuhkan. Mala mengangkat bahunya, ia menggertakan giginya pertanda ia sangat gemas akan tingkah orang asing di hadapannya ini.

“Kamu tuh ya—” Sebelum Mala melanjutkan ucapannya, sang tuan sudah mengisyaratkan agar Mala diam.

“Kamu itu nggak usah bawel bisa? Sekarang ikuti aja kata saya, kamu mau mati seperti temanmu? Nggak kan?” tanyanya lagi sambil memasukkan beberapa peralatan yang ia minta, kemudian ia mengenakan maskernya dan menarik tangan sang puan agar segera keluar dari rumah tersebut.

“Dia disini. Kamu ikuti saja saya,” ujarnya segera naik ke motornya dan memerintahkan Mala agar naik ke jok belakangnya.

“Ada apa sebenarnya? Saya nggak akan lanjutkan ini, saya nggak mau ikut kamu,” ucap Mala di tengah perjalanan mereka. Bima menghela nafasnya kemudian memberhentikan motornya di sebuah taman yang cukup sepi pengunjung.

“Nanti saya akan jelaskan, sekarang teman kamu dalam bahaya.” Bima kemudian mengedarkan pandangannya dengan cemas seperti mencari sesuatu.

“Teman? Siapa?” tanya Mala heran. Ia bahkan tidak tahu buku itu ada dimana.

“Teman penulis kamu, dia mengambil buku itu di depan rumah teman kamu yang meninggal kemarin,” jelas Bima menatap sekilas Mala kemudian duduk di kursi taman di sana.

Ingatan Mala terbang ke beberapa hari yang lalu, saat Dena meninggal dengan keadaan mengenaskan di depan rumahnya sendiri. Sesuatu yang masih menjadi pukulan menyakitkan baginya. Ingatannya kemudian mendadak tertuju pada Rizka, teman dekatnya selain Dena. Ia memang salah satu penulis juga di Romance Publisher, sama dengannya. Mala menggeleng kuat. Kalau dia nggak bisa selamatkan Dena, dia harus bisa menyelamatkan Rizka.

“Ayo kita cari!” Ia bangkit dari tempatnya dan menatap Bima, sikapnya disambut dengan seulas senyuman dan anggukan pasti dari sang tuan.

Sementara, seperti dugaan Bima. Rizka, sahabat dari Mala sedang asyik memperhatikan buku yang ia temukan tergeletak persis di depan rumah Dena saat ia melayat ke kediaman sahabatnya itu.

“Aw—” seperti dejavu, darah segar mengalir dari jari sang puan. Ia menatap nanar keadaan jari telunjuknya, bulu kuduknya meremang.

Angin sore rasanya berbeda saat ini, kenapa keadaannya begitu mencekam padahal matahari pun belum pulang ke peraduannya.

Karena penasaran, Rizka membuka halaman pertama buku tersebut yang bertinta merah dengan bau sangat anyir keluar dari setiap helai kertasnya. Rasanya kenapa buku ini begitu menyedotnya masuk, terlena akan jalan cerita serta alur dari apa yang ditulis sang penulis.

“Dan sang penulis akan mati karena ... ” tangannya gemetar, bukan karena tremor yang diidapnya melainkan tulisan tersebut menuliskan teksnya sendiri tepat di depan matanya dan seorang nenek tua dengan wujud menyeramkan penuh darah serta taring tajam keluar dari buku tersebut dan menyergap tepat diwajahnya.

“Aaaaa—” dilemparnya buku itu, ia menutupi wajahnya karena perasaan takut yang seketika menyerangnya.

Belum tuntas rasa takutnya sebuah tangan tiba-tiba mencekiknya dari belakang dengan begitu kuat, Rizka berusaha melahap segala udara yang bisa masuk ke dalam kerongkongannya. Sayang, ia habis cara lantas gagal karena sebilah pisau berhasil menyayat lehernya hingga ajal pun tiba dan menyapanya.

Lagi, satu nyawa mati konyol hanya karena keingintahuannya.

The Death of Author

Dena, —salah satu editor di Romance Publisher— teman dari Mala, keluar dengan senyuman senang saat sang pemilik buku mengizinkannya memboyong buku hitam tersebut untuk dipinjamnya sebentar. Mala memang sangat baik hati, tak salah dia jadi salah satu penulis tetap di perusahaan penerbitan mereka sekaligus membantu jalannya bisnis di sana.

Ia kemudian memutuskan untuk pulang saat matahari mulai tenggelam ke peraduannya. Akhirnya, supir pribadinya datang. Dengan senyuman lebar, ia menyapa supirnya ramah dan masuk ke dalam mobilnya. Biasanya Mala akan ikut dengannya, namun sepertinya gadis itu sedang sibuk sekali karena pekerjaannya.

Tak ada yang janggal, semua berjalan seperti semestinya. Namun, macet kota melanda seperti halnya ibukota di jam pulang kerja seperti ini. Hmm, Dena nampaknya harus mengisi kesibukan. Kenapa tidak membaca buku yang baru dipinjamnya saja ya?

Sebutlah, Dena dan keberaniannya. Namun memangnya ia tahu kalau itu adalah buku kutukan? Dena belum sampai membuka lebar buku tersebut, namun ia meringis seketika.

“Aw—” Setitik darah keluar dari telunjuknya, ia menatap bingung jarinya sendiri yang mengeluarkan darah tanpa sebab. Apakah ia tanpa sengaja mengenai benda tajam pada buku tersebut? Dena segera mengambil sehelai tissue dan membersihkan darahnya. Entah kenapa kepalanya seketika pusing, ia mengusap keningnya.

Namun, sejenak kemudian ia kembali memutuskan membuka bagian buku tersebut dan membacanya sampai habis.

Sebuah buku yang memang sangat menarik, tentang pria yang bersekutu dengan setan dan selalu dikucilkan semesta. Kasihan sekali dia, namun mendadak bulu kuduknya meremang, ada apa dengan dirinya?

Belum sampai selesai ia baca, ternyata ia sudah sampai di depan rumahnya. Sejak ia membaca buku itu, Dena merasa seperti ada yang mengawasinya di perjalanan tadi. Ia menatap sekitar dengan suasana yang mulai menggelap, aneh. Siapa yang mau mengawasinya? Ini kan rumahnya sendiri.

Ia mencari kunci yang ia taruh pada tasnya, kemana kunci tersebut? Keringat dingin mengucur dari wajahnya, kenapa ia begitu panik? Padahal tidak ada yang mengejarnya.

Sekelebat bayangan muncul, seperti berlari hanya seper-mili sekon, lagi dan lagi. Ada yang memang tidak beres dengannya, tepatnya sejak ia membaca buku tersebut.

Sialan! Mana kunci itu!

Dena sudah tidak bisa berpikir jernih, nampaknya memang ada yang mengejarnya. Ah! Akhirnya kunci rumahnya berhasil ia dapatkan!

Tangannya gemetar mencari lubang kunci dari pintu rumahnya tersebut, namun karena serangan panik mencari lubang kunci saat ini seperti mencari lubang semut saja baginya.

Ketemu! Dena bersorak senang saat memutar kunci rumahnya. Namun,

“Akkkhh—” Sebuah anak panah melesat lurus dengan ujung runcingnya seolah mencari sasaran tepatnya, yakni punggung dari seorang Dena. Matanya melotot kemudian menabrak pintu rumahnya dan terkulai di lantai dengan bersimbah darah, ia gagal mencari jalan keluar dan tempat aman.

Rampung, Dena telah menjadi korban selanjutnya.

Sasa. kedengerannya kayak merek micin ya? wkwk. Tapi perlu diinget nama gue ada selipan huruf H nya. S A S H A. Sasha Berlyn Aficenna. anjay keren banget ya nama gue. kayak bule bule gitu kan?

Kalau mau jujur emang sebenernya gue ada campuran darah bulenya, dikit. eh ngga tau deh dikit apa engga. wkwk. intinya, bokap gue ada darah campuran jerman korea gitu, kalo nyokap gue, asli orang pribumi. itu sebabnya kali ya makanya nama gue tetep ada unsur lokal nya?

Kalau mau jujur lagi, gue sebenarnya dari keluarga darah biru. bokap gue tuh tinggi banget, bukan tinggi badan ya, tapi gatau kerjaan bokap gue tuh tinggi banget, yang gue tau sih pekerjaanya setara sama pemerintah gitu, ngga tau deh gua males nanya. nyokap gue?? ibu rumah tangga lah biasa, dia ngga perlu kerja lagi,karena ya,– bokap gue udah bisa menuhin segalanya. ya nggak? tapi tetep aja rumah gue disediain pembantu, iyalah orang gue orang kaya, haha. meskipun gue orang kaya, gue tetep minta di sekolahin di sekolah negri kayak biasanya, bukan swasta yang elit gitu haha. jadi, jangan kaget ya kalo banyak temen temen gue yang omongannya suka ngga difilter. kalo kata orang orang jaman sekarang sih “ ANAK JAKSEL” haha .

Shasa, itu nama gue. Lo harus inget baik-baik ya, jangan disangkutpautkan sama nama micin. Beda, nama gue ada H-nya. Nama panjang gue Sasha Berlyn Aficenna, tapi panggil Sasha aja biar nggak ribet.

Gue blasteran, bukan.. Bukan blasteran Cianjur sama Indramayu. Ini beneran bokap gue ada keturunan Jerman-Korea dan kalau nyokap asli pribumi. Itu alasan kenapa nama gue agak ribet kalau diucapin lidah orang Indonesia. Hehe.

Gue juga keturunan darah biru, bukan karena gue lahir dari sultan atau lahir di Keraton. Tapi, bokap punya pekerjaan yang sudah setara dengan orang pemerintahan. Yaaa.. Sekelas sama wakil rakyatlah ya. Gue sendiri nggak tahu dia kerja apaan, selama uang jajan lancar gue bodo amat.

Kalau nyokap sih cuma ibu rumah tangga biasa, tapi biarpun gitu nggak apa-apa sih, kan bokap gue udah kaya lahir batin. Gue juga punya pembantu yang siap layanin semua kebutuhan gue. Oh iya, gue juga sekolah di negeri bukan di swasta. Jadi, jangan heran kalau punya teman-teman yang ngomongnya wicis wicis literally alias Jaksel language banget, bro.

Gadis Es

Tiba-tiba ponsel Alka berdering, dan itu dari Reyhan. Memang Laskarz memutuskan melakukan pesta Farewell Party karena Alka sudah tidak lagi menjadi murid Alexander. Namun, tidak ada yang tahu kalau Alka hanya menyebrang sekolah saja.

“Assalamualaikum. Dimana lu?” tanya Reyhan mencari keberadaan Alka yang menurut info dari Alka sang tuan sudah sampai di lokasi tempat mereka janjian bertemu.

“Gue dah di dalem sama Manik dan Eldo. Buruan sini.” Alka menatap kedua temannya yang sudah lebih dulu hadir. Tak lama, Reyhan muncul dengan balutan baju koko berwarna cream.

“Lo abis ngapain ngab?” tanya Manik tertawa sampai iris matanya tak terlihat.

“Iya lo. Abis tahlilan?” tanya Eldo menambahkan dan ikut tertawa. Alka hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan teman masa kecilnya tersebut.

“Iya anjir. Di rumah gue lagi ada pengajian. Eh gue aus nih. Bagi ya.” tanpa basa-basi, Reyhan mengambil minuman milik Alka tanpa dilarang oleh pemiliknya karena sudah paham betul tabiat Reyhan.

Di saat yang lain, seorang perempuan masuk ke dalam cafe tersebut dengan kepala tertutul hoodie dan headset yang setia berada ditelinganya. Sesekali, ia mengangguk-anggukkan kepalanya, menikmati irama musik yang masuk ke telinganya.

Fokus sang gadis tidak terbagi, hanya menatap satu arah. Yaitu novel yang dipegangnya. Ia memilih langsung duduk di pojok belakang cafe tersebut tanpa peduli sekitarnya.

Alka tanpa sengaja menangkap objek yang selama ini dicarinya, ternyata kesempatan kedua itu ada ya? Awalnya Alka tidak percaya, namun hal itu terjadi padanya saat ini.

“Anjir wey wey. Dieeeem.“  Alka memberikan isyarat agar teman-temannya diam. Kemudian, dirinya beralih menghampiri sang puan yang tak lain adalah Embun. Sosok yang diincarnya sebelum tragedi itu dialaminya.

“Suka novel dee juga?” tanya Alka tiba-tiba sudah berada dihadapan sang puan. Yang ditanya sama sekali tak terganggu dan tak menanggapi Alkana.

“Kalau gue sih, paling suka sama Perahu Kertas.” Ia menyebut asal judul novel yang memang beberapa tahun lalu sempat booming. Embun mengangkat wajahnya sekilas dan mendengus.

“Nggak nanya.” jawabnya ketus, Alka menghela nafasnya berat. Sabar Alka, sabar.

“Elo sekolah di Alexandra? Kenalin, gue Alka.” Alka memberanikan diri mengulurkan tangannya kemudian dibalas dengan suara buku dibentur ke meja, yang tentu saja dilakukan oleh Embun. Ia menatap tajam Alka dan melengos.

“Gue gak nanya.” jawabnya ketus dan meninggalkan Alka sendirian di cafe dengan tawa dari teman-temannya yang menyambut hari patah hatinya saat ini. Sialan. Siapa yang berani menolak Alka? Hanya Embun pelakunya

Promise

Alka masih belum berani pulang, ia memilih memarkirkan motornya di sebuah taman dan melamun lantas memikirkan bagaimana nasibnya kedepannya. Kesal, pasti. Seolah keluarganya tidak mau tahu tentang masalahnya. Ia pun tidak ingin bercerita kepada teman-temannya dan memilih menanggungnya sendirian.

Tak lama ponselnya berdering, dari kakaknya. Ada apa lagi?

“Alka! Papa masuk rumah sakit.” ujar Lova, kakaknya dari seberang sana. Alka menghela nafas berat.

“Iya gue ke rumah sakit.” putusnya kemudian dan segera meninggalkan tempat tersebut menuju rumah sakit, tempat dimana papanya berada.

“Kak? Gimana Papa?” Alka yang saat itu sudah bisa menemukan sosok Kakaknya menatap ke arah sang puan dan ikut duduk disampingnya.

“Lo masuk aja deh mending.” ujarnya dengan raut wajah lelah. Alka mengangguk dan memutuskan masuk ke dalam kamar orang tuanya.

“Pa?” Alka berjalan menghampiri sang ayah dengan kikuk lantas duduk di kursi yang sudah dipersiapkan di samping ranjang Papanya.

“Maafin Alka ya?” Alka tercekat beberapa saat sebelum mengucapkan kata sulit tersebut dengan ayahnya yang menatap lemah lantas lelaki paruh baya itu mengangguk.

“Maaf kalau Alka kemarin-kemarin selalu repotin Papa, tapi Pa...“  Ia berhenti sejenak berusaha mengambil sebanyak-banyaknya oksigen karena rasa sesak di dalam dada.

“Alka cuma mau diperlakukan sebagai manusia, sebagai seorang anak.. Yang nggak cuma dikasih limpahan materi lalu Papa bisa tinggalkan. Aku ini bukan robot, Pa.” ucapnya menghela nafas lega setelah mengatakan apa yang selama ini dipendamnya. Sang papa mengangguk dan tersenyum tipis.

“Nggak apa-apa, Alka. Sekarang, kamu harus buktiin ke Papa.. Kalau dari sini, kamu bisa berhasil.” ucap sang ayah lagi dan dijawab dengan anggukan serta senyuman dari Alka.

Kecewa

“Berdasarkan hasil keputusan dewan guru dan wali murid serta beberapa perwakilan orang tua dari siswa yang hadir di rapat tadi, Alkana Sastra Venusa dinyatakan tidak bisa melanjutkan pendidikan di Alexander. Saya mohon maaf, Pak. Dan, Alka juga sudah diblacklist disemua sekolah umum, Pak.” ujar sang kepala yayasan pada Papa Alka yang saat itu keningnya sudah berkerut banyak pertanda ia sedang menanggung banyak beban pikiran. Sementara, Alka disampingnya tertunduk lesu. Hancur sudah masa depannya.

Alka dan Papanya kemudian keluar dari ruangan setelah mendapat beberapa surat mengenai pengeluaran dirinya dari Alexander. Banyak siswa menatapnya, termasuk Hujan dan teman-temannya yang menyunggingkan senyum kemenangan dan dibalas Alka dengan tatapan tajam penuh kebencian.

“Puas kamu malu-maluin, Papa?” ucap Papanya dengan raut wajah kecewa kemudian meninggalkan Alka sendirian disana dan merenungi buntut akibat yang Ia timbulkan.

Insiden

Malam itu, usai memarkirkan motornya sembarang, Alka berjalan dengan santai menuju arena balap yang berada disebuah jalan lurus kosong kawasan Senayan. Sewaktu pagi, jalan ini digunakan muda-mudi untuk menghabiskan waktu mereka untuk berjalan santai ataupun mengajak keluarga bercengkrama dikarenakan suasana di daerah tersebut sangat asri. Namun, berbeda saat malam tiba. Jalan tersebut digunakan para remaja pencari jati diri unjuk kekuasaan termasuk Alka saat ini.

“Alka alka.. Kemana aja lo baru dateng?” tanya sosok yang paling Alka tidak harapkan untuk hadir, siapa lagi kalau bukan Hujan.

“Harus banget gue lapor lo abis darimana?” tanya Alka ketus dan berjalan menuju Reyhan, Manik dan Eldo. Ketiga sahabatnya.

“Tadi gue udah ngomong sama temen lo. Robbers ngajakin Laskarz taruhan. One by one. Yang artinya, gue sama lo.” ucap Hujan dengan senyuman miringnya yang khas menatap Alka dengan merendahkan.

Alka mencibir dan mengangkat dagunya, bersikap angkuh lantas tertawa jua meremehkan. Sebenarnya, taruhan adalah hal yang sangat ia hindari. Namun, Robbers berhasil membuat ego dalam dirinya naik.

“Oke.“ Ia mengangguk, “Taruhan apa?” tanyanya dengan tangan terlipat di dada.

Hujan tertawa pelan akan tingkah Alka lantas mengusap dagunya, kemudian Ia melirik teman-temannya dan tersenyum miring.

“Kalau lo kalah, lo harus mengakui depan semua anak-anak. Kalau Laskarz kalah dan mengakui Robbers hebat. Di lapangan sekolah.” ucap Hujan dengan penuh penekanan di setiap katanya dan mengitari tubuh Alka.

“Kalau gue menang?” tanyanya penasaran.

“Lo tau sendiri, Robbers emang udah pecundang.” ucapnya tertawa dengan meremehkan membuat kedua jemari Hujan terkepal.

“Gue bakal jadi babu lo sebulan kedepan. Gimana? Deal?” tanya Hujan mengulurkan tangannya didepan Alka.

Alka melirik ketiga sahabatnya dahulu dan menyambut jabatan tangan tuan yang berumur tidak jauh darinya. Ia pastikan, Hujan dan teman-temanya akan jadi pesuruhnya selama satu bulan kedepan.

Arena balap saat itu sudah dipenuhi riuh suara dari para remaja remaja tanggung yang hadir di tempat tersebut, tak terkecuali Ghessa. Ia memilih meneriakkan nama Alka daripada mendukung kakaknya, Hujan.

“Alka alkaaaaa! Ayo lo pasti menang.” teriak dara yang terpaut umur hanya satu tahun dengan Hujan.

“Kok lo malah dukung si Alka?” tanya Dendra, sahabat Hujan.

“Yeuh, biarin. Suka-suka gue dong. Wleee.” Ia memeletkan lidah ke arah Dendra dan kembali meneriakkan nama idolanya.

Kedua motor mereka sudah melaju dengan kecepatan diatas batas normal, alias benar-benar seperti berkendara diatas angin. 150 km/ jam untuk kecepatan yang dipacu Alka agar bisa mengungguli Hujan.

Sesekali ia berpapasan dengan Hujan dan memilih melempar ludah ke arah sang tuan sebagai bentuk penghinaan bahwa dirinya diatas segalanya daripada rivalnya tersebut.

Dua putaran ia masih memimpin, egonya yang membuat Alka menambah kecepatannya menjadi 170km/ jam, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya.

Jalan yang mereka lewati memang berdekatan dengan pemukiman warga, meski sudah malam dan tidak ada warga yang melintas namun Alka seharusnya lebih waspada. Naas, ia tak bisa menghentikan laju motornya saat seorang tukang nasi goreng melintas didepannya hendak menyebrang ke kanan jalan.

TIIIIIIINNNN!!

Sebisa mungkin Ia menekan klaksonnya, namun sayang sekali kecelakaan tak terelakkan dan membuat tubuh pria tersebut terpental karena hantaman motor Alka dan terjatuh cukup keras mengenai trotoar.

Beruntung, Alka tidak mengalami luka berat karena helm yang dipakainya. Ia menoleh ke arah korban yang ditabraknya dan semua orang sudah berkumpul mengelilinginya. Alka sudah tak mengingat apapun lagi, yang ia tahu, ia dalam masalah besar.

Pacar Idola

Hai aku Nidya Narundana, hobi suka menggambar dan suka sekali dengan Bunga Matahari dan juga Kawa.

Tapi kalau disuruh milih aku kayanya bakal lebih milih dikasih Kawa deh daripada sekebun bunga matahari.

Kenapa aku suka Kawa? Karena Kawa itu lebih dari idola dimataku. Dia sempurna. Dia benar-benar membuat aku menjadi pribadi lebih baik. Kawa menganggapku benar-benar seperti manusia dan teman. Aku akan terus bermimpi sampai jadi pacar seorang Kanaka Warangga.

Sama seperti saat ini, aku kayanya lagi mumpi deh. Entah berada dimana aku, disini banyak sekali bunga matahari dengan cahaya matahari yang hangat dan tak menyilaukan. aku melihat Kawa disana, tersenyum manis sekali. Senyum termanis yang pernah kulihat.

Ah meskipun aku tahu ini cuma mimpi, aku benar-benar berharap ini menjadi nyata. Senyumannya terasa sangat nyata hingga cahaya temaran dan bunga matahari sirna digantikan oleh cahaya putih dan bau khas rumah sakit. Namun senyum Kawa tak hilang, ia masih tersenyum dihadapanku dan menggenggam tanganku. Apakah aku lagi-lagi sedang bermimpi?

“Nidya? Nidya kamu sadar?” ucapnya pertama kali dan seketika langsung mengusap keningku. Ingatanku seketika terlempar ke beberapa hari lalu saat sebuah mobil hitam mendekat ke arahku dan semuanya menjadi hitam dan gelap.

“Kawa? Kamu ngapain disini?” tanyaku dengan suara agak parau. Ia kemudian dengan panik memberitahuku bahwa akan segera kembali dan memanggil dokter untukku. Aku mengangguk mengiyakan.

“Jadi, kamu selama ini belum mandi?” tanyaku sedikit tertawa saat sore hari bersamanya di kamar inapku. Aku sudah dipindahkan di kamar inap biasa bukan lagi di ICU. Kawa sudah menceritakan semuanya padaku dan siapa dalang dibalik ini semua. Yaaaaa... aku sebenarnya tak menyangka. Rasa cinta ternyata dapat membunuh ya? Tapi, Kawa? Apa kejadian Nanda akan terulang kepadaku?

“Beluuum.” Ia menggeleng membuyarkan lamunanku.

“Kenapa?” tanyaku penasaran. Wajahnya begitu dekat denganku dan semuanya terasa sangat bisa digapai.

“Mana mungkin aku mandi kalau orang yang aku sayang lagi kesakitan?” tanyanya tanpa rasa bersalah berucap demikian.

“Kamu sayang sama aku? Oh iya.. Kamu kan sayang sama semua fans kamu ya hahahaha.” Aku tertawa kecil, lucu sekali Nidya memikirkan apa kamu?

“Ya? Aku sayang sama kamu bukan sebagai fans.” Kawa meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku menatapnya dalam diam, tak mengerti. Namun kalau boleh jujur, rasanya pusing, deg-degan dan seperti ada kupu-kupu menari diperutku.

“Aku sayang sama kamu sebagai kamu. Sebagai Nidya Narundana.” ucapnya lagi dengan seulas senyum dan terdiam beberapa saat.

“Yaaa? Be my sunflower and I'll be your sun?” ucapnya dengan sangat lembut dan membuat lidahku kelu entah harus menjawab apa selain mengangguk dan mengulas sebuah senyum bahagia.

Kalau 3 bulan lalu ada orang iseng yang bilang aku bakal jadi pacar Kanaka Warangga, aku kayanya bakal ketawa kenceng dan bilang orang itu gila deh.

Tapi, sayangnya takdir juga bisa gila and I love you, Kanaka Warangga, pacar sekaligus idolaku!

END