Pengakuan
“Dimana lo dek?” tanya Raja kembali menghubungi adiknya yang sudah dua hari kabur. Sementara Nidya masih belum juga siuman, dan Kawa masih tidak mau berbicara dengannya sampai hari ini.
“Gausah tanya-tanya gue.” jawab Nanda diseberang sana. Raja mengusap dadanya, berusaha memberi dirinya sendiri kesabaran akan tingkah adiknya tersebut.
“Lo nggak kasian sama gue? Sama mama papa? Gue masih harus bolak balik RS sama Kantor Polisi gara-gara lo Dek. Kawa ju—” panggilan teleponnya lagi-lagi dimatikan sepihak. Raja menghela nafas dan memilih kembali ke kamar inap Nidya yang sudah dua hari tidak ada tanda-tanda akan siuman. Dan Kawa... Masih setia disana. Tidak pernah beranjak sedikitpun.
Langkahnya gontai menghampiri Raden dan Dias serta Ratu dan Cici dan ikut disebelah mereka.
“Adek lo masih ngga mau pulang?” tanya Ratu tiba-tiba. Raja menggeleng.
“Yaa.. Kita berdoa aja. Moga dia segera dikasih hidayah.” timpal Raden. Kemudian Kawa keluar dari kamar Nidya dan duduk disebelah Raja dengan pandangan kosong.
“Wa... Gue minta maaf sekali lagi. Kalau sehabis ini lo nggak mau temenan sama gue lagi gue siap. Asal lo maafin gue dan Nan—”
“Cukup.” Kawa membiarkan tangannya terulur dihadapan Raja. Menahan Raja agar tidak berbicara lagi.
“Gue nggak mau denger nama itu lagi.” ucapnya dengan dingin membuat semua yang melihatnya ikut terdiam.
Tiba-tiba seorang perempuan berjalan pelan dengan langkah takut berdiri di hadapan Kawa. Semua atensi tertuju pada gadis tersebut.
Wajah Kawa terangkat dan menatap sang puan dengan perasaan campur aduk.
“Ikut gue!” Kawa segera menarik gadis tersebut yang ternyata Nanda berjalan ke taman rumah sakit,
Kawa berdiri dihadapan sang puan dengan tangan terlipat tanpa mau sedikitpun melihat gadis tersebut.
“Kawa.. Aku.. Aku minta maaf... Aku gak bermaksud..” Nanda berusaha meraih tangan Kawa namun selalu ditepis oleh sang tuan.
“Kenapa lo ngelakuin itu?” tanya Kawa dengan penampilan masih kusut berusaha mati-matian agar tidak mengasari perempuan yang pernah dicintainya tersebut.
“Aku cuma mau kita balik. Ngga boleh ada yang lain.”
“Gitu?” Kawa berucap dingin kemudian meludah sembarang pertanda ia sudah muak.
“Apa lo mikirin perasaan gue pas elo selingkuhin gue, Nan?! Mikirin nggak? Lo nggak bolehin gue ada yang lain disaat kita udah nggak ada apa-apa?! Gimana elo yang biarin ada orang lain? Apa gue berbuat jahat celakain orang itu?!” tanya Kawa dengan Nanda cukup tinggi dan menatap tajam gadis tersebut.
“Jawab Nan!” paksanya dengan nada meninggi menbuat sang gadis ciut. Kawa menghela nafas berat dan memasukkan kedua tangannya ke saku.
“Gue bakal maafin lo asal lo nyerahin diri ke polisi. Dan kayanya otak lo kudu diobati juga!” Kawa mengakhiri ucapannya dan membiarkan Nanda terduduk sendirian ditaman tersebut dengan menangisi semua perbuatannya.
“Apapun... Apapun Kawa. Akan aku lakuin, biar kamu bisa maafun aku dan kita bisa kembali sama-sama lagi.” Ia membiarkan dirinya berjalan mengikuti hatinya, apalagi kalau bukan untuk mengabulkan permintaan orang yang paling ia cintai. Kawa.