Zetha Universe

Pengakuan

“Dimana lo dek?” tanya Raja kembali menghubungi adiknya yang sudah dua hari kabur. Sementara Nidya masih belum juga siuman, dan Kawa masih tidak mau berbicara dengannya sampai hari ini.

“Gausah tanya-tanya gue.” jawab Nanda diseberang sana. Raja mengusap dadanya, berusaha memberi dirinya sendiri kesabaran akan tingkah adiknya tersebut.

“Lo nggak kasian sama gue? Sama mama papa? Gue masih harus bolak balik RS sama Kantor Polisi gara-gara lo Dek. Kawa ju—” panggilan teleponnya lagi-lagi dimatikan sepihak. Raja menghela nafas dan memilih kembali ke kamar inap Nidya yang sudah dua hari tidak ada tanda-tanda akan siuman. Dan Kawa... Masih setia disana. Tidak pernah beranjak sedikitpun.

Langkahnya gontai menghampiri Raden dan Dias serta Ratu dan Cici dan ikut disebelah mereka.

“Adek lo masih ngga mau pulang?” tanya Ratu tiba-tiba. Raja menggeleng.

“Yaa.. Kita berdoa aja. Moga dia segera dikasih hidayah.” timpal Raden. Kemudian Kawa keluar dari kamar Nidya dan duduk disebelah Raja dengan pandangan kosong.

“Wa... Gue minta maaf sekali lagi. Kalau sehabis ini lo nggak mau temenan sama gue lagi gue siap. Asal lo maafin gue dan Nan—”

“Cukup.” Kawa membiarkan tangannya terulur dihadapan Raja. Menahan Raja agar tidak berbicara lagi.

“Gue nggak mau denger nama itu lagi.” ucapnya dengan dingin membuat semua yang melihatnya ikut terdiam.

Tiba-tiba seorang perempuan berjalan pelan dengan langkah takut berdiri di hadapan Kawa. Semua atensi tertuju pada gadis tersebut.

Wajah Kawa terangkat dan menatap sang puan dengan perasaan campur aduk.

“Ikut gue!” Kawa segera menarik gadis tersebut yang ternyata Nanda berjalan ke taman rumah sakit,

Kawa berdiri dihadapan sang puan dengan tangan terlipat tanpa mau sedikitpun melihat gadis tersebut.

“Kawa.. Aku.. Aku minta maaf... Aku gak bermaksud..” Nanda berusaha meraih tangan Kawa namun selalu ditepis oleh sang tuan.

“Kenapa lo ngelakuin itu?” tanya Kawa dengan penampilan masih kusut berusaha mati-matian agar tidak mengasari perempuan yang pernah dicintainya tersebut.

“Aku cuma mau kita balik. Ngga boleh ada yang lain.”

“Gitu?” Kawa berucap dingin kemudian meludah sembarang pertanda ia sudah muak.

“Apa lo mikirin perasaan gue pas elo selingkuhin gue, Nan?! Mikirin nggak? Lo nggak bolehin gue ada yang lain disaat kita udah nggak ada apa-apa?! Gimana elo yang biarin ada orang lain? Apa gue berbuat jahat celakain orang itu?!” tanya Kawa dengan Nanda cukup tinggi dan menatap tajam gadis tersebut.

“Jawab Nan!” paksanya dengan nada meninggi menbuat sang gadis ciut. Kawa menghela nafas berat dan memasukkan kedua tangannya ke saku.

“Gue bakal maafin lo asal lo nyerahin diri ke polisi. Dan kayanya otak lo kudu diobati juga!” Kawa mengakhiri ucapannya dan membiarkan Nanda terduduk sendirian ditaman tersebut dengan menangisi semua perbuatannya.

“Apapun... Apapun Kawa. Akan aku lakuin, biar kamu bisa maafun aku dan kita bisa kembali sama-sama lagi.” Ia membiarkan dirinya berjalan mengikuti hatinya, apalagi kalau bukan untuk mengabulkan permintaan orang yang paling ia cintai. Kawa.

Flashback

Putus

“Kamu kapan kesini?” ucap seorang gadis yang sedang mondar mandir dipelataran rumahnya. Wajahnya mendadak berubah masam. Kawa memang tak pernah memberinya waktu barang sehari saja agar dapat bisa berdua saja dengannya. Kadang, Ia meragukan hatinya. Apakah masih kuat Ia bertahan?

Tiba-tiba ponselnya berdering, dari Rey? Teman kampusnya yang akhir-akhir ini sikapnya berubah pada Nanda. Entah perasaan Nanda saja atau memang pria itu terlihat tengah mengejarnya.

“Iya ada apa Rey? Jadi ke rumah?” tanyanya membahas tentang percakapan mereka di chat. Nanda tersenyum sumringah, suatu perasaan yang jarang ia dapatkan lagi saat bersama Kawa. Lebih tepatnya sudah tidak pernah lagi. Bahkan Kawa saja tidak pernah lagi menghubunginya duluan.

Ia mengangguk dan semua penantiannya pada Kawa ia lupakan.

“Hey cantik!” Seorang pria bertubuh jangkung nampak membawa bunga dan sebuah bingkisan berupa chessecake kesukaan Nanda, gadis mana yang tidak tersipu diperlakukan demikian?

“Makasih banyak! Bener bener deh lo, Rey! Ayo masuk!” Nanda mengajak pria tersebut untuk duduk di ruang tamu mereka.

“Makasih banyak! Gue suka banget kuenya. Enaaaak.” Nanda membiarkan sendok kecil berisi potongan chessecake lumer di mulutnya.

“Kalau sama gue suka nggak?” tanya Rey menatap lekat Nanda, membuat sang gadis tersedak dan tertawa canggung.

“Sorry? Lo ngomong apa?” tanya Nanda seusai dirinya meneguk segelas air putih didepannya. Kedua tangannya digenggam erat oleh pria yang sudah 2 tahun dikenalnya.

“Gue suka sama lo, Nan.. Lo juga suka sama gue kan? Gue bisa kasih apa yang Kawa nggak pernah kasih. Gue sayang banget sama lo.” aku sang pria, Nanda membeku ditempatnya entah harus menanggapi bagaimana. Hatinya terbagi, harus mengikuti salah sattunya untuk memilih Kawa atau menerima perasaan Rey dan melupakan Kawa. Tatapan Rey begitu dalam, dan Nanda hanyut dalam manik hitam menenangkan sang tuan. Keduanya bertatapan dan membiarkan wajah mereka perlahan mendekat.

“Kalian apa-apaan?!” sebuah suara mengagetkan keduanya, Kawa sudah berdiri didepan pintu dengan nafas tersengal dan melepaskan bunga yang ia bawa begitu saja. Nanda segera bangkit dan berusaha meraih Kawa, namun tak tergapai sama seperti hatinya yang sangat sulit digapai untuk saat ini.

“Kita putus!” ucap Kawa dengan tegas dan menatap sekilas Nanda dengan tatapan kecewa kemudian membuang muka, segera ia bergegas meninggalkan rumah Nanda sebelum sang puan mengejarnya.

“Kawaaa! Aku bisa jelasin!” teriaknya, namun percuma. Mobil Kawa sudah melaju cepat tak terlihat. Nanda benar-benar merasa ditinggalkan dan tak berguna.

Pelarian

Nanda memacu mobilnya— tepatnya milik Raja— cukup kencang ke arah Jakarta Pusat. Tidak henti-hentinya bibirnya bersumpah serapah. Memaki dan menyumpahi Nidya dan siapapun yang menghalangi upayanya.

“Goblok! Tolol! Kenapa ngga mati sekalian aja tuh cewek?! Kenapa harus ada temennya sih?” Ia memukul kemudi cukup kencang dan mengambil ponselnya ketika berdering. Dari pesuruhnya.

“Udah gue beresin. Lo lama. Pergi darisitu sebelum polisi dateng. Ganti semua simcard lo.” Ucapnya dengan nada dingin dan datar dan melempar ponselnya sembarang.

“Arrrgghh! Nidya sialan!” Ucapnya dengan menggebu-gebu dan penuh amarah.

Kembali ponselnya berdering, dari Kakaknya. Raja. Pusing dikepalanya makin bertambah. Pasti Raja tahu semua rencananya. Pasti Raja tahu dialah dalang dibalik semuanya.

Sekilas pikirannya kembali ke beberapa bulan lalu, saat dirinya berhasil memegang kendali atas Whatsapp milik Raja dan meretasnya. Raja yang terlalu bodoh atau dia yang terlalu pintar sehingga semua informasi mengenai Kawa dan Nidya berhasil didapat olehnya.

Kembali keningnya berdenyit nyeri, memikirkan sebersit rasa bersalah pada kakaknya yang segera Ia enyahkan.

“Ya kenapa Kak?” jawabnya dengan datar. Hening beberapa saat.

“Gue bakal jelasin semuanya. Tapi please kasih gue waktu Kak.” tawarnya masih dalam keadaan menyetir.

“Iya kak. Gue minta maaf. Gue akan perbaiki semuanya.” ucapnya mematikan panggilan telepon itu sepihak.

Datang atau tidak itu tergantung keputusannya kan? Tapi, Ia pun tidak tega kalau harus kakaknya yang menanggung akibat dari semua ulahnya pada Kawa dan Nidya.

Betrayal

Kawa POV

Setelah dapat pesan dari Ratu, gue segera bergegas ke rumah sakit bersama Raden dan juga Dias. Otak gue udah ngga bisa berpikir normal. Siapa sebenernya yang tega kaya gini ke Yaya? Apa mungkin Raja?

“Bro.. Gue kasih tau ya. Nanti pas dirumah sakit lo jaga emosi lo. Kita fokus doain dan jagain Ninid aja ya?” Dias menepuk bahu gue dan memberikan kata-kata yang menurut gue basi. Ngga bisa. Tenang gimana. Nidya yang tadi sore masih senyum sama gue, sekarang gue gatau dia lagi gimana, kesakitan apa nggak.

“Iya Wa. Nanti juga kalau ada Raja. Lo jangan langsung ngejudge dia.” Raden yang sedang menyetir menimpali. Gue menggeleng. Sebenarnya karena bingung. Kalau memang Raja yang nabrak, kenapa? Apa gue kurang jadi sahabat buat dia?

Ponsel gue berdering. Dari Gita.

“Gue lagi ke rumah sakit.” “Bilangin a Mario maaf gue gabisa liat sampai akhir.” “Iya. Nidya ketabrak.” “RS Harapan Kemang.”

Usai panggilan terputus gue menyandarkan tubuh ke arah kursi mobil dan memijat pelipis gue. Pusing.

Tak lama kami bertiga sampai, tanpa memikirkan identitas gue, wajah acak-acakkan, gue berlari ke arah ruang icu dan menghampiri kumpulan orang yang gue kenal salah satunya adalah orang tua Nidya.

“Bu... Saya minta maaf.” hati gue seperti teriris, gue emang jahat banget. Gue ambil Nidya dari mereka dalam keadaan baik, tapi gue balikin ke mereka dalam keadaan sekarat.

“Nggak apa-apa. Bukan salah kamu Kawa.” jawab ibu dari Nidya masih dengan senyuman di sela tangisnya.

“Gimana keadaan Nidya?” tanya gue memberanikan diri.

“Nidya masih kritis dan ditangani dokter karena kehilangan banyak darah dan luka dikepalanya. Minta doanya ya Nak?” kali ini Ayah dari Nidya menepuk bahuku, tentu saja aku mengangguk penuh.

“Gue mau ngomong sama lo.” tiba-tiba gue ditarik oleh seorang yang gue tau itu adalah Ratu.”

“Gimana? udah tau siapa pelakunya? Ini gue ada foto-foto mobilnya. Lo tau mobil siapa?” Ratu menyodorkan gue beberapa jepretan mobil yang sudah melukai bunga matahari gue. Darah gue seketika mendidih, itu memang mobilnya Raja! Sering dipakai dia juga kalau kita lagi nongkrong.

“Sabar... sabar Wa.” Dias yang ada disamping gue terus-terusan menepuk bahu gue. Gak akan mempan.

Tiba-tiba..

“Hai semuanya. Sebenernya ada ap...—”

Yang gue tunggu-tunggu akhirnya tiba.

BUG!

TKO! Terima kasih Raja sudah bersedia hadir disaat yang tepat. You deserve it!

“Hey! Whats happen bro?!” Ia menghapus darah di ujung bibirnya karena pukulan gue.

Dias dan Raden terlihat membagi fokus dengan menahan gue dari arah kanan dan kiri.

“Lo gausah bohong lagi. Ini! Ini mobil lo kan?” Gue menyodorkan potret mobil miliknya tepat di depan wajahnya.

“Iya itu mobil gue. Terus kenapa?”

“Masih berlagak bego lo ya? Lo kan yang nabrak Nidya?!” Cukup! Gue nggak mau basa-basi lagi.

“HAH?!”

Insiden Terakhir

Malam itu, Kawa dan Nidya sudah duduk di barisan terdepan panggung mini concert dari kakak kandung Kawa sendiri, Mario.

“Sumpah lho ya, Kawa. Aku nggak pernah dateng ke konser gini sendiri. Biasanya sama Ratu dan Cici atauga sama Mama Papa aku.” Nidya mengerjapkan matanya beberapa kali dan memamerkan rona bahagianya melihat sekitarnya.

“Tepatnya dateng sama cowok?” tambah Kawa menggoda gadis didepannya dan tertawa kecil.

“Hehehehe. Eh Kawa. Katanya kamu mau cerita? Kenapa putus sama Nanda?” tanya Nidya kembali membuka obrolan mereka tentang hal tersebut yang sempat tergantung. Kawa terdiam sebentar dan menghela nafasnya.

“Dia selingkuhin aku, Ya.” Kawa berucap pelan dan menyandarkan punggungnya di kursi, berusaha meredam emosi yang meletup-letup.

“HAH?!” Nidya membulatkan netranya lebar karena apa yang didengarnya dari Kawa berbeda dengan yang didengarnya dari Nanda.

“Kenapa?” Kawa bertanya, kaget dengan respon Nidya yang seolah seperti mendengar kabar paling mengagetkan sedunia.

“Soalnya...” tiba-tiba ponselnya berdering.

“Bentar bentar, aku angkat telfon dulu ya.” Nidya meminta izin pada sang tuan dan menjauh dari tempat mereka.

“Nidddd! Kita udah diluar nih? Dimana ya? Nggak kebagian parkir juga. Gue masih dipinggir jalan kaya gembel sama Cici.” ujar seorang diseberang sana yang ternyata adalah Ratu.

“Bentar-bentar gue ketempat lo berdua. Dimana emang?” tanya Nidya berjalan cepat menuju pelataran cafe tersebut.

“Diseberang cafenya ini gue sama si Cici.” Ratu menjawab dan masih celingak celinguk mencari space kosong untuk mereka.

“Gue udah keluar nih. Dimana?” tanya Nidya. Cici melihat keberadaan sang puan dan membuka kaca mobil mereka.

“Niiiiddd!” teriak Cici antusias, Nidya tak kalah antusias dan sedikit berlari ke arah mereka.

Tiba-tiba sebuah mobil Honda Jazz hitam melaju cepat seperti di sebuah sirkuit balap ke arah Nidya.

“NID AWAAAAASS!” teriak Cici dan kontan Ratu juga ikut menengok. Namun naas tubuh sang sahabat sudah tertabrak dan terpental hebat karena benturan keras mobil tersebut.

“AAAAAAAAA!”

BRAKKK!

Kedua sahabat itu segera membuka mobil dan berlari menghampiri Nidya yang penuh luka dan darah terutama di bagian kepala.

“Tolooong tolooooong!” Cici berteriak mencari pertolongan. Ratu segera menelfon Ambulance dan kembali ke mobil.

“Lo cari pertolongan. Gue udah nelfon ambulance. Tapi gue mau ngejar mobil itu dulu.” Ratu menitipkan pesan pada Cici yang sedang diladan kepanikan hebat.

“Gak bakal gue biarin lolos lo dakjal!” Ratu menginjak gas secara penuh dan memacu kecepatan hingga penuh sampai mobil itu kembali terlihat olehnya.

“WOY ANJING BERHENTI LO!” Teriaknya saat hanya berjarak kurang dari 1 meter dengan mobil itu namun sial mobil sang puan terjebak lampu merah dan mobil tersangka sudah melaju bebas makin menjauh dan tidak terlihat.

“Shitt! Untung gue udah catet plat nomornya.”

My Sunflower

Kawa POV

Sore itu pukul 5 gue sudah menghadapi macetnya ibukota, berbarengan dengan jam pulang kerja dari para budak korporat Jakarta. Haaahh... Nggak apa-apa, demi Nidya. Mau ada naga sekalipun di patung Pancoran gue jabanin, kenapa jadi cringe banget sih Kawa? Eh bentar lagi sampe nih.

“Perumahan Menteng Baru. Blok H No 23.” Gue membaca maps yang sebelumnya diberikan Nidya. Hm ini kali ya.

Gue segera turun dari mobil dan memencet bel rumah dengan halaman luas yang ditumbuhi banyak bunga matahari. Hmm... Yaya, suka banget kah sama bunga matahari?

Tak lama pintu terbuka oleh seorang wanita paruh baya yang kemungkinan adalah ibunda dari Nidya.

“Kawa ya? Bentar ya, Ninidnya lagi siap-siap.” ucapnya ramah, gue segera mencium tangannya dengan sopan dan tersenyum.

“Nggak apa-apa, Tan. Saya tunggu.”

Tak lama Yaya keluar dengan senyuman lebar khasnya dan terlihat cantik dengan rambut tergerai dengan sebuah jepit bunga matahari kecil di rambutnya.

“Ninid pergi dulu yaaa?” Ia menyalami sang ibunda dan mencium pipinya. Gue juga ikut pamit dan membawanya menuju mobil yang terparkir dipinggir jalan.

“Yaaa?” Panggil gue setelah kami sudah diperjalanan. Ia menoleh dan memusatkan atensinya ke arah gue sepenuhnya.

“Hehehehehehe. Nih.” sebuah bucket bunga matahari berikan ke arahnya. Iris matanya melebar dan wajahnya terkejut.

“Hah? Serius? Bagus bangeeeeet. Makasiiii.” ucapnya antusias dan memandangi bucket bunga tersebut dengan wajah terperangah.

“Sama-sama.” gue menjawab dengan sedikit salting dan menyalakan tape radio mobil gue.

Lagu Sunflower dari Rex Orange Country menemani perjalanan sore hari kami berdua.

“Kawa, kamu tau kenapa aku suka bunga matahari?” “Kenapa?” “Karena dia konsisten. Selalu fokus kemana matahari bersinar.”

Yaya? Boleh gue jadi matahari lo?

Insiden

Kawa POV

“Yaaa... Bentar ya tunggu sini. Aku ambil mobil dulu, titip tas ya.” ucap gue saat kami berada di pelataran basement Kakas. Nidya mengangguk dan menunggu dipinggir jalan dekat dengan parkir mobilku berada.

“Ya ampun kunci gue ada ditas.” Gue memutuskan berbalik dan kembali ke posisi dimana Nidya berada, namun ekor mata gue menangkap sebuah mobil yang semula berjalan lambat namun entah kenapa tancap gas ketika sudah dalam jarak dekat dengan Nidya. Shit! Tolol!

“Nidyaaaaa awas!” Gue berteriak dan tentunya secepat mungkin memeluk dan meraih dirinya menjauh dari tempatnya. Kami berdua jatuh tersungkur karena aksi gue barusan.

“WOY GOBLOK LU YA!” Gue segera bangkit dan mengejar mobil yang tidak kuketahui milik siapa namun tetap tak terkejar.

“Ya? Kamu gapapa Ya?” Gue memutuskan kembali saja ke tempat dimana Nidya, Ia sedikit meringis dan menggeleng. Kakinya luka namun dia masih shock dan tidak menjawab pertanyaan gue. Gue memeluknya erat dan berusaha memberikan rasa tenang saat itu juga.

“Aku nggak apa-apa.” Ia mengusap air matanya dan bergerak menjauh.

“Ayo pulang aja Kawa.” Ajaknya dengan tertatih.

“Bisa jalan nggak?” tanya gue menyusul dan mengimbangi jalannya yang tertatih dan membantunya. Ia mengangguk.

“Diobatin nanti ya dimobil. Aku ada P3K di mobil.” gue kemudian membukakan pintu mobil dan membiarkannya masuk.

Siapa sebenarnya yang ada di mobil itu? Gue yakin banget ada faktor kesengajaan. Pasti!

Why?

Aku baru saja menerima panggilan dari Kawa dan melihat sang tuan yang sudah menungguku tak jauh dari Mcd dengan topi dan sebuah masker yang menutupi setengah wajahnya.

“Kamu udah kaya intel tau.” ucapku padanya saat pertama melihatnya. Ia tertawa.

“Ngapain sih kamu jalan di mall sendirian?” tanya Kawa kemudian mengikutiku dan berada disampingku saat ini.

“Aku nggak sendirian. Aku ketemu adek kamu tadi. Yuk gabung?” Aku mengajaknya untuk segera masuk.

“Hah Gita? Sama siapa dia?” tanya Kawa namun saat kami sudah masuk ke mcd kedua perempuan itu sudah tidak ada ditempat kami duduk.

“Tadi ada Gita sama Kak Nanda.” ucapku me jelaskan pada Kawa, Ia hanya mengangkat bahu dan memutuskan duduk saja.

“Yaudahlah gapapa. Mungkin Nanda yang ajak Gita buat cabut.” wajah Kawa seketika berubah saat mendengar nama mantannya tersebut. Kenapasih? Ada apa? Kenapa jika kalau hanya diteror kenapa kamu seperti tidak suka sekali dengan Kak Nanda?

Bertemu Gita

Gita baru saja tiba di depan pintu masuk Kakas Mall dengan diantar supir taksi online. Suasana Kakas Mall saat itu masih sangat sepi, lantaran masih pukul 9 pagi dimana banyak orang masih sibuk dengan aktivitas pagi mereka.

“Hai... Kak Nanda. Dimana? Aku di Mc Donalds ya?” Ia nampak menghubungi seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Nanda, mantan dari kakaknya. Sebenarnya, Gita tidak mau terlalu ikut campur. Maka, ketika Kawa memutuskan menjauhi perempuan itu. Ia memilih untuk tetap baik dan berteman dengan sang gadis.

Dengan sebuah eskrim matcha kesukaan yang ada didepannya, Ia menunggu sambil memperhatikan sekitar. Netranya menangkap sebuah pemandangan menarik, seorang gadis yang daridulu ingin dikenalnya karena selalu menjadi topik menarik sang kakak saat dirumah. Beberapa kali ia mengerjapkan mata dan memastikan siapa gerangan gadis itu, apakah benar dia Nidya, gadis yang saat ini menurutnya sudah mengambil hati kakak kesayangannya.

Ia memutuskan menghampiri sang puan yang berjarak tak lebih dari 3 meja didepannya.

“Hai Nidya ya?” sapanya dengan sok akrab, sang gadis mengangkat kepalanya dan balas tersenyum pada Gita. Terlihat sedikit ekspresi kaget disana, tentunya saja dengan ekspresi Gita beberapa waktu lalu.

“Kamu... Gita?” tanyanya menebak. Wow, Gita tidak pernah menyangka dirinya akan seterkenal itu hanya karena menjadi seorang adik dari Kanaka Warangga. Atau mungkin sang kakak sudah menceritakan segalanya pada gadis ini?

“Iyaaaa! Kamu Nidya ya? Aku sering denger kamu dari A Kawa. Salam kenal ya?” Ia mengulurkan tangan untuk saling berjabat. Dan syukurkan disambut dengan senang hati oleh Nidya.

“Sendirian?” tanya Nidya menyuap beberapa sendok eskrim ke mulutnya.

“Nggak. Aku lagi nunggu kak Nanda. Eh kamu tau Kak Nanda kan?” tanya Gita kembali pada Nidya. Gadis itu sedikit tercenung kemudian mengangguk.

“Nggak apa apa nanti dia gabung? Atau kalau kamu ngga mau gapapa sih. Nanti aku pindah aja sama dia.” ucap Gita dengan meringis dan terkekeh pelan.

“Nggak apa apa. Emangnya kenapa?” tanya Nidya kembali sedikit bingung.

“Kamu kan lagi deket ya sama A kawa?” tanya Gita sedikit menggoda gadis yang tak jauh berbeda usianya dengannya dan membuat gadis itu sedikit tersedak eskrim yang sedang disantapnya.

“Hahahahha. Kata siapa sih?” ia menyembunyikan raut wajah malu didepan adik Kawa itu.

“Alah. Jangan bohong. Eh atau kakakku bertepuk sebelah tangan?” tanya Gita tertawa geli.

“Kata siapa Kawa suka aku?” tanya Nidya yang sebenarnya juga penasaran. Namun, Gita mengerdik.

“Aku sih dukung-dukung aja Nid. Tapi.. Kamu harus tau satu fakta. Sama A Kawa, harus kuat-kuat. Kamu tau kenapa kak Nanda bisa putus sama A Kawa?” tanya Gita pada Nidya saat itu dan berbisik. Tentu saja Nidya menggeleng.

“Karena... diteror..” Gita berucap sangan pelan sekali. Lagi-lagi Nidya tersedak untuk kedua kalinya.

“Hah serius?!” tsnya Nidya hampir tidak percaya.

“Iyaaaa. Kasian banget Kak Nanda dulu curhat ke aku nangis-nangis mulu. Semoga aja nggak keulang sama kamu dua kali.” Gita menggenggam erat tangan Nidya dan menatap gadis itu lekat lantas tersenyum, berusaha meyakinkan.

“Hahahahaha... Lagian A Kawa ngga suka aku ah.” Nidya berusaha menepis semua anggapan tersebut.

“Eh aku boleh minta nomor kamu?” Gita sudah siap mengetikkan nomor ponsel Nidya di ponselnya. Nidya mengangguk dan menyebutkan ponselnya pada Gita.

“Git.. Aku boleh minta nomor Kak Nanda?” Nidya akhirnya memberanikan diri untuk mencari tau sendiri fakta itu. Gita tentu saja mengangguk dan memberikan kontak dari mantan pacar kakaknya tersebut.

“Terima kasih, ya.”

“Hei...” Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan mereka. Nidya menoleh dan sedikit terkejut siapa yang ada dihadapannya, perempuan yang daridulu selalu ia kagumi karena begitu cocok dengan idolanya. Kawa.

“Hei Gita kamu sama siapa?” tanya Nanda duduk bergabung dengan mereka.

“Hai aku Nidya.” Nidya mengulurkan tangannya dan disambut baik oleh Nanda. Gita sedikit berbisik pada Nanda memberitahu siapa Nidya.

“Ooh. I see. Salam kenal ya Nidya. Lagi ngapain? Sendirian aja?” tanya Nanda pada Nidya.

“Lagi suntuk aja kak dirumah.” jawab Nidya namun tak lama ponsel sang puan berdering.

Kawa.

“Eh sebentar ya Kak aku angkat telfon dulu.” Ia kemudian bangkit dan mengangkat panggilan telepon dari sang tuan.

“Aku di Mcd. Bentar ya aku keluar sebentar.” Nidya kemudian meminta izin untuk keluar sebentar dan mencari keberadaan Kawa.

Kado Tak Diinginkan

Nidya POV

Aaaaaaa!

Kado itu seketika aku lemparkan ketika mengetahui apa isi di dalamnya. Sebuah tikus mati dengan foto-foto aku juga Kawa didalemnya.

Benar-benar keterlaluan! Ulah siapa ini? Seingatku aku nggak pernah sebar nomor ke sosmed atau ke orang lain yang nggak aku kenal. Apalagi alamat! Darimana dia tahu semua info tentangku?

Aku bahkan tidak ada hubungan apa-apa dengan Kawa.. Kenapa orang itu keterlaluan banget kaya gini sih?

Tok! Tok! Tok!

“Yayaaaa yayaa ini gue Ratu, sama Cici!”

Aku membereskan kado sialan itu dan memasukkan ke plastik lalu membuangnya ke tempat sampah.

“Lo nggak kenapa-kenapa?!” saat pintu aku buka, Ratu dan Cici sudah memelukku dan memastikan semua baik-baik saja. Aku mengangguk di tepi tempat tidur.

“Aaaaaa!” jerit Cici saat melihat kado yang sudah berada ditempat sampah tersebut.

“Gila sih, psikopat dia njir! Bisa-bisanya kamu dikasih gituan Nid!” Cici duduk disebelahku dan mengusap bahuku pelan.

“Khanza nih pasti kerjaannya. Besok gue labrak dia.” Ratu terlihat berapi-api dengan amarahnya.

“Kok kamu nuduh Khanza sih? Emang ada buktinya, Tu?” tanya Cici yang sepemikiran denganku.

“Ya siapa lagi yang tahu alamat Ninid dan nomor telepon dia selain tuh nenek lampir. Orang lain nggak mungkinlah.” Ratu memberikan argumennya kemudian menghampiri kado tersebut.

“Nid, ada suratnya.” Ia mengambil sepucuk surat yang ditulis dengan tinta merah.

“Gue tau sekolah lo, gue tau data keluarga lo. Jauhi Kawa atau gue akan berbuat lebih jauh.” Ratu membaca tulisan di kado tersebut kemudian wajahnya berubah menjadi geram dan meremas surat tersebut.

“Fix Khanza! ayo kerumahnya aja sekarang.” Ratu menarik Cici dan juga aku. Aku terdiam, memikirkan seribu praduga dan kemungkinan-kemungkinan.

“Udahlah, gue jauhin Kawa aja.” putusku akhirnya dengan menghela nafas berat. Entah keberapa kali aku menghela nafas.

“Nggak bisa gitu, Nid. Memangnya dia siapa bisa larang-larang lo. Lo tuh harus berani! Lo nurut sama aja lo menyetujui perbuatan tidak terpuji ini.” Ratu kembali menyanggah, diangguki Cici. Aku menatap mereka berdua.

“Aduin Kawa aja. Pasti Kawa banyak duit langsung dicari siapa.” Cici berkomentar, kemudian aku menggeleng.

“Gue nggak bisa dan nggak mau Kawa repot sama masalah sepele kaya gini.” Aku menggeleng frustasi, serba bingung.

“Sepele dari hongkong heh! Pokoknya gue ama Cici bantuin cari siapa dalangnya. Gue tetep curiga si Khanza.” Ratu masih saja kekeuh dengan praduganya dan meremas-remas surat tersebut.

Aku pusing. Rasanya seperti aku tidak diizinkan bahagia sebentar saja.