Zetha Universe

Bima dan Jihan telah sampai pada tujuan mereka, sebuah cafe dengan lampu-lampu hias temaram yang menggantung di berandanya menambah kesan romantis tempat tersebut.

“Kok bukan ke cafe kita biasa sih?” tanya Jihan mengerutkan dahinya, pertanda ada yang sedang ia pikirkan.

Bima menatapnya sinis dan menarik saja tangan sahabatny tersebut tanpa menjawab pertanyaan dari sahabatnya itu.

“Nah, sekarang lo nemenin gue aja. Ngerjain tugas, oke?” ucap Bima dengan santai membuka laptop miliknya dan tentu saja diangguki oleh Jihan.

Alunan lagu terasa memenuhi indera pendengaran dari setiap pengunjung yang hadir di sana, lagu dari Budi Doremi yang berjudul Tolong mulai memasuki intronya.

“Eh eh, Bim! Lagu kesukaan kita!” Jihan mengubah wajahnya menjadi sumringah dan tak sengaja menarik-narik lengan sang sahabat.

“Budi Doremi rilis lagu baru tau, Bim. Eh tapi gue tetep suka lagu ini sih, hehehe.” Jihan terkekeh dengan manik hitamnya yang hampir tak terlihat karena saking lebarnya senyuman yang ia torehkan.

“Itu kan lagu buat friendzone, emang ... lo lagi di friendzone-in siapa sih?” tanya Bima masih fokus di laptopnya, sebenarnya degupan jantungnya bertambah cepat, menunggu jawaban dari perempuan itu.

Sudah menjadi rahasia yang tersimpan cukup lama, bahwa Bima Samudra menyukai Jihan Pratama melebihi seorang teman. Namun, Jihan masih saja bergeming dan seolah nyaman dengan status mereka yang hanya menyandang status sahabat.

“Yaaaa ... Ngga ada sih.” Jihan mengangkat bahunya, kikuk. Perasaanny mendadak aneh. Kenapa Bima harus bertanya seperti itu, sih?

“Lo ngga suka cowok ya?” tanya Bima berkelakar dan tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana.

“Enak aja! Ngarang lo! Suka lah.” Segera, Jihan menyanggah pertanyaan laki-laki yang ada di hadapannya. Wajahnya jengkel. Bisa-bisanya Bima menganggapnya demikian.

“Atau lo suka sama gue?” tanya Bima langsung menebak, ia mengigit bibirnya sendiri sementara fokusnya ia coba alihkan ke layar laptop di depannya.

Jihan terdiam beberapa saat. Kemudian tertawa canggung menutupi pipinya yang bersemu merah.

“Nggaklah anjir. Lo bukan tipe gue!” Ia menepuk meja di depannya dengan satu tangannya sambil tertawa, netranya teralih ke arah lain. Apa saja asalkan Bima tidak melihat wajahnya yang seperti kepiting rebus.

“Lah terus tipe lo kaya apa?” tanya Bima penasaran, mencuri-curi pandang ke arah gadis di depannya.

“Yang kaya cowok arah jarum jam 12.” Jihan melirik asal cowok gondrong yang sedang memainkan ponselnya dari tempatnya.

“Oh lo suka cowok begitu, kayanya jomlo. Mau gue mintain nomornya?” tanya Bima terkekeh geli dan menatap Jihan.

“Eh, Bima! Gila lo jangan!” Jihan ikut bangkit, namun Bima sudah kepalang berjalan ke arah cowok tak dikenal tersebut.

Mati aja deh.

“Jihaaaan!”

Sebuah suara mengagetkan puan berusia dua puluh tahun tersebut dari arah beranda rumahnya, Bima ini benar-benar datang secepat kilat.

Ia melangkahkan kaki besar-besar menuju pintu rumahnya dan melipat tangannya di dada.

“Cepet amat lo, kaya buroq,” celetuknya asal kemudian menggeser tubuhnya agar sahabatnya tersebut dapat masuk.

“Ngapain? Gue udah izin kali sama nyokap lo di whatsapp, Yuk? Buruan.” Bima tanpa persetujuan menarik gadis tersebut agar segera ikut dengannya.

“Buset, tunggu dulu dong. Gue ambil tas dulu. Jadi kepo gue, dikasih nama apa lo sama nyokap gue.” Jihan berbalik arah dan segera mengambil tasnya. Kemudian, gadis tersebut naik ke atas Vespa kuning milik Bima yang sudah sangat akrab dengannya.

Tiga sekawan itu membawa bayi yang terus menangis tersebut ke sebuah klinik dekat rumah kost mereka, Nino —nama bayi tersebut— masih terus menangis, suhu tubuhnya tinggi sekali sejak semalam. Ehsan —yang sedang bertugas mengendong— berjalan lebih dulu dan dengan tergesa menuju meja pendaftaran, berharap prosesnya cepat dan tidak bertele-tele.

“Kalian bolos kuliah?” tanya Fatih pada kedua temannya yang sibuk mondar-mandir di depannya.

“Iyalah gila. Gue juga khawatir sama nih bayi satu,” jawab Deka, ia memilih duduk di samping kawannya tersebut dan memperhatikan temannya yang lain, Deka.

Yang jadi pusat perhatian kedua temannya, justru tak ingin duduk. Ia terlalu panik apalagi sang bayi masih terus menangis biarpun sudah diberikan susu.

“Ananda Nino,” panggil sang dokter keluar dari ruangannya.

“Iya, Dok!” Ketiga sekawan itu menjawab serempak, pria berjas putih itu tertawa geli.

“Kalian ini ayahnya atau kakaknya?” tanya sang dokter memastikan.

“Saya Ayahnya!” Tiga sekawan itu menjawab serentak dan membuat sang Dokter memperhatikan dengan kebingungan.

“Eh ... saya Kakaknya!” Fatih memilih opsi lain agar tidak terlalu mencurigakan.

“Saya adiknya!” Deka dengan spontan menjawab, dan berhasil membuatnya dapat toyoran dari Ehsan.

“Gimana bisa bego!” hardiknya sebal.

“Saya sepupunya, Dok!” Ia segera meralat ucapannya.

“Yaudah, Ayahnya masuk yuk?” Sang dokter mengajak salah satu dari mereka, yakni Ehsan untuk masuk ke dalam ruangannya.

“Gue beli minuman dulu, ya?” Fatih menepuk bahu Deka dan dijawab anggukan oleh temannya tersebut.

Fatih yang saat itu memilih sendirian, berjalan ke cafetaria klinik tersebut. Namun, aliran darahnya mendadak terhenti saat melihat sosok perempuan yang begitu amat ia kenali.

“Sasa?” panggilnya lirih, ia mendekat ke arah perempuan tersebut dan berniat menyapanya.

“Eh? Fatih ... ngapain?” tanyanya dengan sedikit kikuk.

“Gue lagi antar ponakan,” jawab sang tuan dengan gestur yang tak kalah kaku.

Cukup lama mereka bertatapan, sampai akhirnya Fatih berdeham memecah keheningan.

“Sasa? Gue mau minta maaf.” Fatih memberanikan diri kembali membawa kembali masalah mereka berbulan-bulan lalu ke permukaan.

Sasa menghela nafas berat dengan tatapan mata yang sudah berkaca-kaca. Satu kali usapan berhasil membangkitkan kembali ketegarannya.

“Nggak apa-apa, nggak usah dibahas lagi. Ah, Fatih? Adalagi yang mau diomongin? Gue buru-buru nih.” Ia kemudian segera membereskan tasnya dan tersenyum melambaikan tangan pada Fatih meskipun belum mendapat persetujuan dari lawan bicaranya.

Layaknya menelan pil pahit, Fatih mengangguk berat dan menunduk sejenak. Ia menoleh mengikuti arah jejak dari perempuan tersebut. Perempuan yang pernah mengisi hari-harinya. Sasa, mantan kekasihnya.

Ketika malam hari tiba, ketiga sekawan itu nampak mengendap-ngendap berjalan dengan langkah pelan menuju rumah Ibu Kost mereka yang hanya berjarak 500 meter dari kamar mereka.

Deka yang bertugas membawa keranjang berisi bayi tersebut memimpin langkah paling depan, sementara kedua temannya nampak mengedarkan pandangan dan memastikan suasana di sekitar aman.

Dengan gerakan perlahan, ia menaruh keranjang besar tersebut di samping pintu rumah Mpok Yati —pemilik kost mereka— dan dengan gerakan cepat, Deka menekan tombol bel rumah tersebut lalu bersama dua temannya ia segera bersembunyi.

Bravo! Mission Complete!” Ia mengacungkan kedua ibu jarinya pada Ehsan dan Fatih yang memamerkan wajah sumringah karena misi mereka berhasil.

1 jam kemudian

“Lama banget, sih? Dia ngga denger bel apa gimana? Pencet lagi, gih, Dek!” titah Fatih pada temannya tersebut. Sementara, yang diperintah menurut saja apa kata Fatih.

Ketiga sekawan itu nampak melongo dan merasa bosan, karena sudah dua jam mereka menunggu, si pemilik rumah tidak kunjung keluar.

“Bawa balik lagi ajalah!” seru Ehsan sudah pasrah, ia bahkan sudah sangat mengantuk karena menunggu terlalu lama.

“Hm ... bawa pulang lagi, nih?” tanya Deka dengan raut wajah masam dan diangguki oleh kedua temannya dengan ekspresi lesu.

adultery

Malam ini, Noah sudah di dalam mobil bersama Elsa —kekasihnya—, pikirannya menerawang sejenak menatap warna air danau yang berwarna kehitaman efek pantulan langit malam.

“Kenapa kamu bawa aku kesini, sayang?” tanya Elsa menatap kekasihnya itu, penasaran.

Noah terdiam cukup lama, nafasnya masih tak tenang. Di otaknya, ia berusaha menyusun kata dan kalimat apa yang tepat untuk ia katakan kepada Elsa.

“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Aku tahu, kamu bakal marah, mungkin marah banget ke aku. Tapi, aku mohon dengerin dulu penjelasan dari aku sampai tuntas, ya?” ucapnya lolos begitu saja dengan tempo satu kali helaan nafas, Elsa menatapnya bingung.

“Lalu?” tanyanya, hanya satu kalimat itu saja yang mampu ia ucapkan.

“Aku selingkuh.” Tanpa bertele-tele atau memakai istilah lain, Noah memilih dua kata itu sebagai pembuka dari semua pengakuan dosanya.

Elsa terdiam seribu bahasa, otaknya masih sulit mencerna.

“Waktu kamu wisuda, banku nggak bocor. Tapi, aku ketemu sama mantanku. Dan ... we have affair.” Elsa membiarkan Noah menyelesaikan semua kalimatnya, seperti permintaannya di awal.

“Aku tahu aku salah waktu itu. Aku benar-benar salah dan mungkin seribu kata maaf nggak bisa buat nebus kesalahanku. Tapi, aku benar-benar menyesal. Dia udah aku block dan nomornya udah aku hapus.” Noah kembali melanjutkan dengan mata memerah, menahan segenap emosi yang ia simpan berhari-hari.

Elsa masih bergeming, saat ini wajahnya sudah pucat pasi.

“Sekarang, aku siap terima semua konsekuensinya. Kamu boleh tampar aku, boleh pukul aku, dan ... Boleh putusin aku.” Ia melepaskan nafas panjang di bagian terakhir ucapannya, menatap Elsa penuh harap.

Elsa masih terdiam, alih-alih menampar atau bahkan memukulnya. Sang gadis justru terdiam.

“Kamu jahat.” Hanya dua kata itu yang keluar dari bilabialnya, Noah bahkan tak berani menatap mata indah yang saat ini sedang berkaca menahan air mata.

“Aku cuma nggak nyangka, kenapa yang terjadi di film-film, yang terjadi di orang-orang sekitarku. Juga terjadi ke aku. Aku salah dan kurangnya apa sih, yang?” tanyanya dengan suara bergetar. Noah kehilangan kata-kata, semua menguap seiring isak yang semakin kencang dari bibir Elsa.

“Aku minta maaf. Aku cuma bisa ngomong itu. Aku minta maaf.” Noah bergeming di tempatnya, tidak berani bertindak lebih jauh. Membiarkan Elsa menangis di hadapannya.

“Kamu beneran udah block dia?” tanya Elsa setelah tangisnya reda, ia bahkan masih enggan menatap Noah. Pria jangkung itu mengangguk, helaan nafasnya terasa berat.

Elsa mencoba menatap Noah dan menggeleng tidak percaya.

“Aku kurang apa sih, yang?” tanyanya dengan suara lirih, menunggu jawaban dari lelaki itu.

“Aku ngerasa pacaran kita hambar banget. Kamu nggak mau manggil aku sayang, kamu nggak mau pegangan tangan, kamu nggak mau aku peluk, ngga mau bilang—” Noah masih berbicara, namun disergah oleh Elsa.

“Emang pacaran harus kaya gitu?” tanyanya dengan penasaran, mencari jawaban dari mata lelakinya.

Tak menjawab, Noah memilih memeluk sang puan erat. Egonya yang membuat ini semua terjadi. Ia membiarkan Elsa menangis dipelukannya dan merapal kalimat maaf berulang kali sampai berhenti tangisan itu, sampai hilang luka itu.

Adultery

Noah mengetukkan pulpen ke meja yang tersemat diantara kedua jarinya, berpikir keras tentang keputusan apa yang harus ia ambil.

Drrtt! Drrtt!

Ponselnya bergetar, netranya teralih menatap sebuah benda kecil yang menyala itu. wanita jalang itu lagi, racau Noah dalam pikirannya. Tidak bisa kah ia diberikan waktu sejenak untuk dapat lepas dari bayang-bayang masa lalunya.

Wanita itu kali ini mengancamnya, jika ia tidak datang maka Cherie akan mengirimkan video senonoh mereka kepada Elsa —kekasihnya— dan itu pasti akan membuatnya berada di dalam sebuah masalah.

Noah melirik arlojinya, masih ada waktu untuk membuat mantan kekasihnya itu diam. Setelah itu, ia dapat segera menuju tempat berlangsungnya sidang yang akan ditempuh Elsa. Kekasihnya sebentar lagi akan lulus kuliah dan tentu saja Noah akan segera melamar gadisnya.

“Mau perlu apa? Cepet ngomong, waktu gue nggak banyak.” Noah melipat dadanya, masih berdiri di depan pintu apartment milik Cherie. Pandangannya tak betah diam, sibuk menjelajah, ia takut akan diketahui oleh calon suami Cherie.

“Buru-buru banget sih, duduk dulu dong,” ucap Cherie dengan nada selembut sutra tepat di telinga sang tuan. Dengan gemulai jemarinya menarik Noah agar duduk di sebuah sofa yang langsung menghadap ke sebuah TV flat miliknya.

Mau tidak mau, Noah mengikuti permainan sang puan. Tak tahu sebenarnya, untuk apa ia di sini?

“Cepet mau apa?!” Noah memutar tubuhnya agar menghadap sang puan dan menatap mantan kekasihnya itu tajam.

Cherie justru tertawa dengan halus, ia mengedipkan sebelah matanya dan jari telunjuknya mulai ia tugaskan untuk bergerak nakal di antara pipi Noah.

“Gue cuma mau minta peluk terakhir kali dari lo kok, boleh?” tanyanya dengan senyuman manisnya, seperti tak tahu diri sedang berbicara dengan siapa. Noah menggemertakkan giginya. Ia menatap nyalang sang puan.

“Gila lo ya, gue mau pulang!” Lelaki itu memutuskan bangkit namun lengannya ditahan oleh Cherie dan perempuan tersebut sudah mendekap tubuhnya erat. Menghirup dalam-dalam aroma yang menguar dari tubuh pria yang masih sangat dicintainya itu.

“I miss you,” bisiknya lembut tepat di telinga Noah dan berhasil membuat sang tuan terdiam.

“Gue tau lo pasti kangen juga kan sama gue?” Noah berusaha melepaskan dirinya, namun nihil. Cherie begitu mendekapnya erat. Ia kemudian mendongakkan wajahnya kemudian tersenyum.

“Kiss me for the last and i will leave you,” ucapnya lolos begitu saja dan menatap dalam netra sang mantan, berharap Noah mengerti maksudnya.

Noah bergeming, bingung apakah harus mengikuti hati atau logikanya. Kemudian, ia membiarkan nalurinya bekerja dengan mendekatkan wajahnya pada sang puan. Dengan netra terpejam, bibirnya sudah bersentuhan dengan milik wanita yang beberapa menit lalu sempat ia sumpah serapahi sebagai jalang. Hah, betapa munafik dirinya.

Cherie diam-diam mengulas senyum, hatinya bersorai. Dia mendapatkan kembali lelakinya. Tanpa ampun, ia membalas lumatan kecil milik Noah dengan lumatan dan isapannya yang berbanding terbalik, panas dan penuh gairah.

Jemarinya tak betah diam, ia mengusap rahang kokoh sang pria dengan gerakan gemulai. Cherie tersenyum saat lelaki tersebut makin memperdalam ciuman mereka dan berhasil masuk ke permainannya.

“Mmhh..” Noah dibuat kewalahan saat bibir sang puan sudah berpindah ke leher jenjangnya, seolah mengabsen setiap inchi kulit lelaki tersebut . Netranya makin terpejam saat Cherie dengan sengaja mencecap dan menghisap kuat di beberapa titik pada jenjang leher miliknya, meninggalkan bekas kepemilikannya disana. Pikirannya terbang di saat mereka masih sering melakukannya, bahkan hampir setiap hari.

“I know you want me right now hm?” bisiknya lembut tepat di telinga Noah. Tak dijawab lelaki tersebut, Cherie tak berhenti sampai situ. Jemarinya dengan nakal mengusap milik sang tuan dari balik celananya. Ia tersenyum saat mengetahui Noah sudah terpancing karenanya di bawah sana.

Namun gerakan tangannya dihentikan oleh jemari sang tuan yang menyingkirkan tangannya dari sana.

“Jangan.” Noah seolah tersadar dari dosanya, ia menatap Cherie dalam. Namun, ia sendiri tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ia juga butuh dipuaskan.

Bukannya menurut, Cherie justru tersenyum miring dan balas menatap Noah.

“Yakin nggak mau?” tanyanya dengan nada menggoda, dengan sengaja kembali mengusap milik sang tuan kali ini dengan kuku-kukunya yang tentu saja membuat Noah menelan ludah.

Tanpa disuruh, Cherie dengan gerakan gemulai membuka resleting celana dari mantan kekasihnya itu dan tanpa ragu mengelus kejantanan dari Noah yang masih terbalut celananya.

Lelaki tersebut hanya pasrah menatap wanita tersebut yang saat ini sudah mengikat rambutnya dan kali ini sudah mengenggam miliknya yang sudah teracung sempurna.

“I miss you, darling. Apa kabar?” tanya perempuan itu terkekeh pelan, mengajak bicara penis Noah yang sudah amat menegang karena ulahnya.

Cherie dengan gerakan lihai, menaik turunkan tangannya pada batang pria yang dicintainya tersebut dari gerakan amat pelan. Kuku-kukunya bergesekan dengan kulit sensitif Noah dan berhasil membuat sang empunya memejamkan mata.

Seperti memiliki mainan baru, gerakannya ia percepat dan membuat kaki pria tersebut bergerak gelisah.

Tak berhenti sampai situ, kali ini Cherie mulai membiarkan lidahnya bermain, menjilat milik Noah laksana es krim kesukaannya. Ia seperti ahli dan tahu bagaimana membuat lelaki itu mendesahkan namanya.

“Cherrr ... Udah Cherr ... Hhh—” Tak memperdulikan erangan demi erangan dari sang tuan, Cherie justru makin membuat panas suasana dengan sengaja memasukkan penis sang tuan ke dalam mulutnya. Mengulum dan memaju-mundurkannya dengan gerakan sedang hingga cepat dan sesekali menghisapnya kuat.

“Akhh!” Noah mengejang saat Cherie benar-benar membuatnya terbang ke awan, Ia klimaks untuk pertama kalinya, permainan perempuan itu masih sama dan masih membuatnya cepat bergairah.

Cherie memutuskan berhenti setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, ia kemudian dengan sengaja duduk di pangkuan Noah dan mengalungkan lehernya.

“Gimana? Masih sama kan?” ucapnya dengan senyuman miring dan menatap Noah dari jarak yang sangat dekat. Noah menelan ludahnya tanpa bersuara.

Tidak perlu dijawab pun, Cherie sudah tahu jawabannya. Ia kembali menghadiahkan lelaki tersebut kecupan, lumatan serta isapan yang membabi buta dan kali ini dibalas tidak kalah panas oleh mantannya itu.

Tanpa disadari, ia sudah membuat lelaki itu bertelanjang dada di hadapannya. Cherie berhenti dan menatap lelakinya cukup dalam.

“Sekarang keputusan lo, mau lanjut atau nggak? Kalau lo mutusin berhenti disini, ini salah gue. Kalau lo lanjut, ini salah lo dan jangan bawa-bawa gue,” ucapnya pada Noah, ia tahu tidak ada laki-laki yang dapat berpikir normal saat sedang dikuasai oleh nafsu. Dan Noah memilih opsi kedua.

Noah memilih melepaskan semua pakaiannya dan juga Cherie, seiring dengan lepasnya juga kepercayaan dari kekasihnya yang ia ikut hempaskan ke tanah. Tak bersisa.

“Noaaahh—” Cherie mengigit bibirnya saat bibir sang tuan sibuk menghisap salah satu buah dadanya, ditambah dengan satu tangan Noah yang sibuk meremas salah satu payudara sintalnya. Shit! Ia sangat merindukan perasaan ini.

Tak sabar, Cherie sendirilah yang memasukkan kejantanan sang tuan yang sudah sangat menekan ke dalam liang kenikmatannya, netranya terpejam saat merasakan sang tuan masuk sempurna ke dalam dirinya.

Noah tak lagi pasif, Ia menyandarkan punggungnya ke sofa dan memeluk sang puan erat. Membiarkan ia yang bekerja sekarang, menghujamkan berkali-kali miliknya di dalam sana.

“Ssshh ... Cherr ... Lo masih enak banget—” Noah tak sanggup melanjutkan ucapannya karena serangan kenikmatan dari Cherie yang begitu menjepit dirinya di dalam sana. Cherie tanpa berhenti menggerakkan pinggulnya cepat seolah ia juga ingin merakan kenikmatan yang dirasakan lelakinya.

Noah makin penasaran, ia mempercepat gerakannya hingga tubuh mereka bergetar dan menimbulkan suara senggama yang cukup keras.

“Aaaakhhh—” Ia mengerang keras seiring dengan hangat yang dirasakan Cherie di dalam sana. Nafasnya naik turun, ia mengecup puncak kepala sang puan cukup lama.

“I miss you,” bisiknya tanpa tahu diri, dijawab dengan anggukan dari wanita tersebut.

“Ronde kedua?” tanyanya sambil mendongakkan wajahnya.

“Gila.” Satu kata meluncur dari bibir Noah yang justru dibalas dengan senyuman nakal dari Cherie.

“Im crazy because of you. Di kamar mandi?” tawarnya lagi, Noah tidak menjawab namun ia tersenyum dan Cherie tahu lelaki itu tidak bisa menolaknya.

Iqbaal memutuskan untuk beranjak dari tempatnya menuju kamar mandi. Ia menyalakan air di wastafel, air yang dingin dan segar.

Hmm, akan lebih segar lagi jika ia mandi.

Pikirannya berkecamuk, apakah mengikuti perintah dari panitia dan manager-nya atau melanggar sedikit. Ah, mungkin jika mandinya sebentar tidak akan terjadi apa-apa?

Ia kemudian memutuskan untuk mandi saja sebentar, sebuah aturan yang baru saja ia langgar.

30 menit ia baru keluar dari kamar mandinya dan memutuskan membuka pintu hotelnya.

Sesuatu yang berbeda nampak dari balik retina matanya, bukan suasana hotel sebelumnya yang dia dapat melainkan sebuah hotel dengan interior berlapis kaca di sekitar dindingnya dan robot-robot yang berjalan silih berganti, mondar mandir seolah pengganti bell boy hotel.

Ia memutuskan untuk berjalan keluar, mencari letak kamar Rinrin dan Ibuk. Namun, nihil. Semua nampak berbeda.

Alih-alih cemas, ia justru penasaran dan memutuskan menengok keadaan diluar hotel. Ia kemudian mengikuti orang yang lalu lalang. Turun melalui lift yang dalam pandangannya, tanpa disentuh tanpa ditekan. Lift berjalan sendiri. Entah dimana ia sekarang, apa dia baru saja memasuki portal waktu?

lobby hotel lebih ramai lagi. Banyak orang berjalan seperti biasa, namun lagi-lagi ia dibuat takjub dengan interior hotel yang menurutnya adalah desain ruangan terindah di abad 21. Atau mungkin ini bukan di abadnya? Lantas dimana ia?

Ia kemudian berjalan keluar, dan seolah tak percaya akan apa yang ia lihat, sampai-sampai cowok yang lahir di bulan Desember tersebut harus mengusap matanya beberapa kali dengan matanya. Flying car is real!

“Wow! Amazing!” Hanya itu kata yang keluar dari bilabialnya, suasana kota yang menurutnya lebih mirip dengan setting film Doraemon yang sering ia tonton membuatnya merasa ia sedang bermimpi.

Langkah kakinya membawanya melangkah dan memutuskan berjalan-jalan sejenak di kota tersebut yang ternyata tidak hanya kotanya saja yang indah, namun penduduknya juga begitu tampan dan jelita. Iqbaal merasa dirinya satu-satunya orang jelek di kota tersebut.

Kota idaman, kota utopia.

“Ingat, semua harus kompak. Iqbaal, Rinrin semangat! Kaya biasa, kalian harus ajak ngobrol penonton juga. Buat suasana jadi hidup ya. Gue dan Ibu bakal mantau dari belakang panggung.” Road Manager dari Svmmerdose memberikan beberapa arahan dan diangguki oleh Iqbaal dan juga Rinrin selaku peran utama dalam konser kali ini.

Akhirnya, giliran mereka untuk tampil telah tiba. Seperti biasa, Iqbaal sebagai bassist di Svmmerdose membuka penampilan dan intro lagu dengan apik melalui bass yang berada dalam gendongannya. Disambut dengan suara emas Rinrin yang mampu membuat seluruh penonton terpana.

Dalam fokusnya menampilkan yang terbaik, ada beberapa hal ganjal yang diperhatikan Iqbaal sedari mereka tiba dan melihat para penonton yang hadir. Berbeda dengan tur-tur sebelumnya. Penonton kali ini lebih tertib dan diam

Diam yang benar-benar diam, bahkan saat Rinrin mengajak mereka bernyanyi. Ada apa sebenarnya?

“Yuk yuk semua masuk mobil yuk!” Ketika semua selesai, dibawah bimbingan road manager-nya, Iqbaal dan Rinrin segera masuk ke mobil di tengah kerumunan.

Ada yang aneh dari stadion tempat mereka tampil. Jika stadion pada umumnya memiliki banyak pintu keluar. Di sana, pintu keluar dan masuk hanya satu lengkap dengan tempat parkirnya.

Entah perasaannya atau tidak, jumlah penonton yang menurutnya di luar ekspetasi. Karena seharusnya ada 8.000 penonton, dari matanya jumlah tersebut hanya setengahnya dari yang hadir tadi yang mungkin jika dihitung bisa 17.000 penonton.

Dengan penonton sebanyak itu seharusnya kosongnya tempat tersebut memerlukan waktu lama, namun saat ini sudah sepi. Ia mengintip dari kaca mobilnya sudah tidak ada orang di sekitar mereka padahal hanya berjarak hitungan menit.

“Rin? Lo ngerasa nggak sih? Tadi kita konser buanyaaaak banget orang. Kok sekarang udah nggak ada?” tanyanya pada sahabatnya tersebut. Rinrin segera menatap keadaan sekitar dari balik kaca mobil dan terdiam.

“Ah perasaan lo aja kali, lo kenapa sih dari kemaren parno terus?” Ia bertanya gemas kepada Iqbaal, karena kawannya tersebut memang dianggapnya berlebihan.

“Masa sih? Aneh banget dari tadi tuh. Lo liat aja itu penontonnya pada kaya setan. Diem terus.” Iqbaal berucap tanpa di filter dan mendapat cubitan dari Rinrin karena sudah berucap di luar batas.

“Kalau ngomong lo jangan sembarangan, kita lagi ditempat orang, bego!” Ia memperingati dan dibalas cengiran oleh Iqbaal.

Malam itu, Iqbaal sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Pria kelahiran 1999 tersebut sibuk menutup telinganya dengan bantal hotel, atau berpindah posisi tidur.

“Shit! What should I do?!” Ia bergumam sendiri, kemudian menatap sekeliling kamarnya. Ia mendadak teringat video youtube yang ditontonnya tempo hari tentang sebuah kota ghaib di Kota Baru, Kalimatan, bernama Saranjana.

Ia kemudian mengambil laptop dari dalam tasnya dan mengetikkan sebuah kata pada kolom pencarian di laman youtube-nya.

Saranjana

Netranya tak bisa diam, melirik ke arah kanan dan kiri menonton penjelasan mengenai kota tersebut.

Mendadak bulu kuduknya meremang, ia reflek mengusap tengkuknya.

Angin di Kota Baru saat itu mungkin sedang kencang-kencangnya, sehingga jendela kamarnya bergerak kesana kemari.

Iqbaal sama sekali tak peduli, padahal dirinya adalah pribadi yang memang takut akan hal-hal menyeramkan. Karena rasa penasarannya, semua itu sirna.

Mendadak, angin berhembus seolah menusuk telinganya dan membuatnya terkesiap. Angin tersebut seolah bersuara dan menyerukan titah untuknya' Berhenti'.

Iqbaal menatap sekelilingnya dan mulai merasakan sesuatu yang tidak beres.

“Berhenti mencari tahu!” Sebuah suara halus namun menusuk telinga mengagetkan seluruh panca inderanya. Ia segera menutup laptopnya dengan gerakan terburu-buru dan menarik selimutnya.

Keputusannya untuk terlalu mencari tahu tentang kota tersebut nampaknya sebuah kesalahan.

SARANJANA

Mobil Iqbaal baru saja tiba di depan gate satu Bandara Soekarno Hatta, Tanggerang. Ia menurunkan dua kopernya yang tentu saja dibantu Ayahnya yang saat itu sedang libur bekerja dan berkesempatan mengantar putra bungsunya tersebut ke bandara.

“Udah semua, Dek?” tanya Ayah Herry saat mengantar anaknya menuju waiting room untuk bertemu dengan Rinrin dan kru Svmmerdose lainnya.

“Udah kok, Yah. Nggak ada yang ketinggalan,” jawabnya sambil berjalan cepat karena sedari tadi, ponselnya terus berdering dan tentu saja pasti itu Rinrin dan Ibu yang menghubunginya.

“Hei! whats up?” Iqbaal seperti kebiasaannya, ia memeluk gadis bernama asli Tarapti Ikhtiar Rinrin tersebut dan menepuk-nepuk punggungnya beberapa kali sebagai salam persahabatan mereka.

“Lama banget lo!” umpat Rinrin segera bahkan baru beberapa detik Iqbaal memeluknya.

“Yeee, kaya nggak tahu aja lo Halim-Pondok Kopi gimana,” sanggahnya sebal dan mengalihkan atensinya pada kru dan manager-nya.

“Gimana, Buk?” tanyanya saat beberapa netra berpusat padanya.

“Udah mau boarding sebentar lagi, Dek. Kita harus siap-siap sekarang,” ajak Dinda Kamil, selaku manager dari Svmmerdose dan juga Iqbaal.

Iqbaal kemudian meminta izin untuk berpamitan dengan Ayahnya dahulu dan mundur beberapa langkah dari kerumunan.

“Yah, Adek izin pamit, Ya? Adek sayang sama Ayah.” Iqbaal memeluk erat sang bapak dan menepuk-nepuk punggungnya dengan tempo berirama.

Pria separuh baya dengan kacamata bertengger di hidungnya menatap anak bungsunya itu heran.

“Loh, kenapa nih? Tumben banget, Dek? Tapi, Ayah juga sayang sama kamu. Hati-hati ya, keluarga nunggu di rumah,” balas sang ayah dengan senyuman bijaknya.

Iqbaal kemudian melambaikan tangan dan menatap sendu sang Ayah seiring dengan menjauhnya langkah kaki menuju gate pemeriksaan.

Dia berharap dapat pulang kembali ke Jakarta.